PTUN Banda Aceh Mulai Sidangkan Gubernur Aceh Terkait Alih Kelola Blok Migas
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Ketua YARA, Safaruddin. Dokumen untuk dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh menggelar sidang pertama dalam gugatan yang diajukan oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) terhadap Gubernur Aceh.
Gugatan ini diajukan terkait ketidaksetujuan Gubernur Aceh untuk menandatangani term and condition proses alih kelola Blok Migas di Aceh Tamiang dan Aceh Timur.
Alih kelola ini merupakan upaya peralihan pengelolaan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi (SKK Migas) kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Sidang pertama ini dilakukan secara tertutup, mengingat sifatnya yang merupakan sidang pemeriksaan pendahuluan.
Dalam persidangan, pihak YARA diwakili oleh Ketua YARA, Safaruddin, sementara Gubernur Aceh diwakili oleh tim kuasa hukum dari Biro Hukum Pemerintah Aceh, yang terdiri dari Asfili, Sulaiman, dan Junaidi.
Usai persidangan yang berlangsung selama sekitar 30 menit, Safaruddin memberikan penjelasan kepada media terkait gugatan yang diajukan.
Menurutnya, gugatan ini bertujuan untuk menegakkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015, khususnya Pasal 90 yang mengatur bahwa semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi di wilayah Aceh harus dialihkan kepada BPMA setelah lembaga tersebut terbentuk.
"Gugatan ini diajukan dalam rangka penegakan aturan yang sudah jelas disebutkan dalam PP 23/2015. Ketika BPMA terbentuk, seharusnya seluruh kontrak dan pengelolaan migas di Aceh dialihkan dari SKK Migas ke BPMA," ujar Safaruddin di Banda Aceh, Selasa (20/8/2024).
Lebih lanjut, Safaruddin mengungkapkan bahwa perjuangan untuk alih kelola Blok Migas ini sudah berjalan hampir lima tahun.
YARA bahkan telah mengajukan dua kali gugatan di Pengadilan Jakarta Pusat, dengan menggugat Kementerian ESDM, SKK Migas, BPMA, dan Pertamina.
Tujuannya adalah agar kontrak migas antara Pertamina dan SKK Migas terkait Blok Migas di Aceh bisa dikeluarkan dari kontrak SKK Migas dan dialihkan ke BPMA.
Menurut Safaruddin, Menteri ESDM telah menyetujui alih kelola tersebut. Bahkan, prosesnya telah ditindaklanjuti oleh SKK Migas, BPMA, dan Pertamina dengan menetapkan term and condition pengelolaan Blok Migas tersebut oleh Pertamina melalui anak perusahaannya, PT PHE Aceh Darussalam.
Namun, proses alih kelola ini tersendat karena Gubernur Aceh tidak bersedia menandatangani rekomendasi term and condition yang diperlukan untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri ESDM.
"Yang kami gugat adalah tindakan Gubernur yang tidak menandatangani term and condition alih kelola Blok Migas di Aceh. Padahal, sejak MoU Helsinki, UUPA, hingga PP 23/2015, semangatnya adalah pengelolaan migas oleh Pemerintah Aceh. Namun, Pj Gubernur Aceh saat ini, Bustami, justru seperti menolak dengan tidak menandatangani rekomendasi tersebut," tegas Safaruddin.
Setelah sidang di PTUN Banda Aceh, Safaruddin bersama Kepala Perwakilan YARA Banda Aceh, Yuni Eko Hariatna, langsung bertolak ke Jakarta untuk menghadiri sidang gugatan lain terhadap Presiden RI di PTUN Jakarta.
Gugatan ini merupakan langkah lanjut YARA dalam memperjuangkan hak-hak Aceh dalam pengelolaan sumber daya migas, yang dinilai vital bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama karena menyangkut pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak dan kewenangan Pemerintah Aceh.
"Keputusan Gubernur Aceh yang tidak menandatangani rekomendasi ini memunculkan pertanyaan besar terkait komitmen pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak daerah, terutama yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku," pungkasnya.