DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik wacana penunjukan Ketua DPD I Partai Golkar Aceh melalui jalur diskresi Ketua Umum Partai Golkar menuai sorotan dari berbagai kalangan, termasuk dari sudut pandang hukum tata organisasi partai politik.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Syiah Kuala, Dr. Zainal Abidin, SH, M.Si., MH, menegaskan bahwa penggunaan diskresi dalam organisasi politik, termasuk di internal Partai Golkar, tidak boleh melampaui ketentuan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai tersebut.
“Diskresi itu ada ruangnya, dan harus dilandasi/dibatasi oleh prinsip legalitas organisasi. Tidak bisa dipakai secara serampangan untuk menunjuk seseorang sebagai Ketua DPD I, apalagi jika yang ditunjuk bukanlah kader aktif partai,” ujar Dr. Zainal kepada Dialeksis.com, Minggu (6/7/2025), di Banda Aceh.
Menurutnya, mekanisme pengisian jabatan Ketua DPD I Golkar Aceh telah diatur secara eksplisit dalam AD/ART Partai Golkar, yaitu melalui Musyawarah Daerah (Musda), yang merupakan forum demokratis, terbuka, dan partisipatif bagi seluruh kader partai.
“AD/ART itu semacam konstitusi partai. Maka setiap pengisian jabatan strategis harus tunduk dan mengikuti prosedur dalam AD/ART tersebut. Penunjukan di luar Musda dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum organisasi partai,” tegasnya.
Dr. Zainal menjelaskan bahwa dalam Pasal 34 Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar, diskresi Ketua Umum dibolehkan hanya dalam tiga konteks:
Menetapkan kebijakan strategis partai;
Mengatasi kebuntuan organisasi;
Menjaga keutuhan dan soliditas internal partai.
“Tidak satu pun dari ketiga poin tersebut menyebut bahwa diskresi dapat digunakan untuk menunjuk langsung Ketua DPD I. Maka dari itu, apabila diskresi digunakan di luar kerangka ini, bisa menimbulkan cacat hukum dan mencederai demokrasi internal partai,” katanya.
Lebih lanjut, Dr. Zainal juga menyoroti potensi konflik kepentingan dan disorientasi arah politik Partai Golkar Aceh jika ketua DPD ditunjuk tanpa proses kaderisasi dan Musda.
“Partai politik bukan sekadar alat elektoral, melainkan institusi demokrasi. Jika mekanisme internalnya dilanggar, maka dampaknya bisa besar: dari hilangnya legitimasi, konflik internal, hingga terancamnya posisi politik partai di daerah,” paparnya.
Ia juga mengingatkan bahwa partai politik memiliki fungsi pendidikan politik dan rekrutmen kader, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Partai Politik. Oleh karena itu, setiap jenjang kepemimpinan dalam partai seharusnya melalui proses yang sah dan transparan.
“Jika seseorang ingin menduduki jabatan struktural seperti Ketua DPD, maka harus mengikuti prosedur partai: mulai dari menjadi anggota aktif, masuk dalam struktur, dan mencalonkan diri secara terbuka dalam Musda,” jelasnya.
Prosedur sebagai jantung hukum, sekaligus cerminan dari prinsip fairness bagi jalannya institusi demokrasi.
Dalam konteks hukum administrasi organisasi, menurut Zainal, tindakan Ketua Umum yang melangkahi AD/ART dapat pula dikualifikasikan sebagai ultra vires, atau tindakan yang berada di luar/melampaui kewenangan hukum yang sah.
“Bahkan sekalipun Ketua Umum adalah pengendali pusat organisasi, kewenangannya tetap dibatasi oleh aturan internal partai. Kalau tidak, maka organisasi ini kehilangan prinsip rule of law,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Dr. Zainal mengajak seluruh kader Partai Golkar di Aceh untuk menghormati prinsip-prinsip demokrasi internal dan tidak tergoda dengan upaya pragmatis dalam pengisian jabatan.
“Demokrasi internal partai itu harus dijaga. Jangan sampai partai politik terjerumus menjadi alat transaksi kekuasaan. Diskresi itu bukan celah untuk menyimpang, tapi solusi dalam keterbatasan, bukan pengganti mekanisme yang sah,” pungkasnya.[]