Produk UMKM Harus Ditampung di Perusahaan Waralaba Nasional
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Banda Aceh menggelar Debat Publik Kedua Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh pada Rabu malam, 20 November 2024. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pertumbuhan pesat waralaba nasional seperti Indomaret dan Alfamart di Banda Aceh kini menjadi sorotan banyak pihak.
Di satu sisi, gerai-gerai modern ini menawarkan kemudahan, aksesibilitas, dan pelayanan cepat, menjadikannya pilihan utama masyarakat.
Melihat kondisi ini, sejumlah pihak menyerukan agar Pemerintah Kota Banda Aceh segera mengambil kebijakan yang lebih tegas.
Salah satunya datang dari pasangan calon walikota dan wakil walikota nomor urut 4, Irwan Djohan - Khairul Amal, yang menyoroti isu ini dalam debat kedua yang digelar Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Banda Aceh, Rabu lalu.
Dalam debat tersebut, calon wakil walikota Khairul Amal menegaskan bahwa kehadiran waralaba nasional seharusnya tidak meminggirkan UMKM lokal.
Ia mengusulkan agar setiap gerai waralaba di Banda Aceh diwajibkan mengakomodir produk-produk UMKM lokal.
“Produk UMKM Banda Aceh, seperti makanan khas, kerajinan tangan, atau produk olahan lainnya, harus mendapat tempat di rak-rak gerai waralaba. Ini adalah langkah konkret untuk memastikan UMKM kita tetap hidup dan berkembang,” ujar Khairul Amal yang dilansir media dialeksis.com, Sabtu, 23 November 2024.
Namun, di sisi lain, keberadaan mereka membawa dampak serius terhadap kelangsungan hidup pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat setempat.
Keberadaan waralaba nasional di Banda Aceh telah mengubah pola konsumsi masyarakat.
Masyarakat cenderung lebih memilih berbelanja di gerai modern yang menawarkan kenyamanan, dibandingkan di warung-warung kecil atau pasar tradisional.
Akibatnya, omzet para pelaku UMKM lokal menurun drastis. Beberapa bahkan harus gulung tikar akibat kehilangan pelanggan setia mereka.
Dampak ini diperparah oleh ketimpangan daya saing antara UMKM lokal dan waralaba. Waralaba nasional memiliki keunggulan berupa modal besar, jaringan distribusi yang luas, dan strategi pemasaran yang efektif.
Sebaliknya, UMKM lokal masih bergulat dengan kendala seperti minimnya modal, keterbatasan dalam pengemasan produk, dan kesulitan menjangkau pasar yang lebih luas.
Selain itu, Khairul juga menyoroti pentingnya peran dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari waralaba dalam memberdayakan UMKM lokal.
Menurutnya, waralaba dapat membantu UMKM lokal melalui pelatihan peningkatan kualitas produk, standar pengemasan, hingga strategi pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan pasar modern.
"Dengan pelatihan yang memadai, UMKM lokal bisa naik kelas. Produk mereka tidak hanya layak dijual di gerai modern, tetapi juga mampu bersaing di pasar yang lebih luas,” tambahnya.
Gerai waralaba juga berpotensi menjadi mitra distribusi strategis bagi UMKM lokal. Produk-produk unggulan UMKM Banda Aceh dapat dipasarkan tidak hanya di gerai lokal, tetapi juga di jaringan waralaba nasional.
Dengan cara ini, UMKM lokal dapat memperluas jangkauan pasarnya hingga ke tingkat nasional, bahkan internasional.
Namun, semua itu bergantung pada keberanian Pemerintah Kota Banda Aceh untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada UMKM lokal.
Kebijakan ini harus memastikan bahwa keberadaan waralaba di Banda Aceh tidak menjadi ancaman, melainkan peluang bagi UMKM untuk tumbuh dan berkembang.
“Waralaba bukan sesuatu yang harus dihapuskan, tapi keberadaannya harus dikontrol dengan baik. Pemerintah perlu memastikan bahwa waralaba dan UMKM bisa tumbuh berdampingan. Ini bukan hanya soal persaingan, tetapi juga tentang keberlanjutan ekonomi masyarakat kita,” tegas Khairul Amal.