DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penunjukan Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh Syariah (BAS) kembali menyeret Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke dalam sorotan tajam publik.
Bukan sekadar soal teknis perbankan, namun menyangkut integritas institusional OJK sebagai penjaga tata kelola sektor keuangan yang seharusnya profesional dan bebas dari intervensi politik.
Dalam situasi ini, publik menanti, apakah OJK memilih berdiri tegak sebagai pengawas yang independen, atau justru tunduk pada kompromi politik yang dapat merusak masa depan perbankan syariah daerah.
T Muhammad Shandoya, Ketua Bidang PTKP BADKO HMI Aceh mengatakan bahwa Bank Aceh Syariah bukan sekadar lembaga keuangan komersial.
Ia adalah satu-satunya bank daerah di Indonesia yang telah sepenuhnya bertransformasi ke sistem perbankan syariah sesuai Qanun Lembaga Keuangan Syariah Aceh Nomor 1 Tahun 2018.
Dengan status itu, Bank Aceh memikul amanah besar untuk mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif, adil, dan berbasis maqashid syariah. Namun, sejauh ini harapan tersebut masih sebatas cita-cita.
Di tengah gempuran tantangan ekonomi dan ketimpangan pembiayaan kepada sektor produktif, khususnya UMKM, publik semakin mempertanyakan orientasi strategis bank ini. Kinerja Bank Aceh dalam mendukung pengusaha kecil dinilai belum optimal, bahkan oleh kalangan aktivis mahasiswa.
Sorotan publik kian tajam ketika proses seleksi Dirut BAS mulai memunculkan nama-nama yang lebih kental dengan afiliasi politik dibanding rekam jejak profesionalisme.
Dalam beberapa pekan terakhir, wacana siapa yang akan menduduki kursi Dirut justru mengarah pada tarik-menarik kepentingan elite lokal.
"Jika OJK membiarkan hal ini berlalu tanpa pengawasan ketat, maka proses fit and proper test hanya akan menjadi legalisasi dari kompromi politik," tegas T Muhammad Shandoya, Ketua Bidang PTKP Badko HMI Aceh, kepada Dialeksis.com, Kamis (10/7/2025).
Padahal, OJK memiliki mandat jelas dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.
Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa OJK memiliki wewenang mutlak untuk menolak calon yang tidak memenuhi unsur integritas, pengalaman, dan komitmen terhadap tata kelola yang baik.
“Jika calon Dirut yang terindikasi memiliki konflik kepentingan tetap diloloskan, artinya OJK secara sadar menyerahkan institusi publik ini ke tangan oligarki,” tambah Shandoya.
Masalah ini tidak sekadar soal siapa yang menjadi Dirut. Lebih dalam dari itu, ini soal bagaimana arah tata kelola keuangan daerah ditentukan. Apakah Bank Aceh akan menjadi institusi yang profesional dan melayani rakyat kecil, atau hanya dijadikan 'bancakan' elite politik daerah?
Dalam struktur kepemilikannya, saham Bank Aceh mayoritas dikuasai oleh Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota se-Aceh.
Struktur ini membuatnya sangat rentan terhadap intervensi politik. Namun justru di sinilah seharusnya peran OJK menjadi penyeimbang, bukan pelengkap formalitas.
Hal ini juga diperkuat dalam Pasal 2 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang menegaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh OJK secara independen dan tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun.
“Jika pemimpin bank saja dipilih lewat mekanisme yang sarat intervensi, bagaimana OJK bisa dipercaya melindungi nasabah?” tanya Shandoya retoris.
Kasus penunjukan Dirut Bank Aceh adalah ujian besar terhadap kredibilitas OJK. Saat ini, kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan sedang mengalami degradasi.
Dugaan KKN dalam penunjukan pimpinan di berbagai perusahaan milik daerah semakin marak. OJK diharapkan tidak menjadi bagian dari pembiaran sistemik tersebut.
"Bukan waktunya OJK hanya mengatakan 'prosesnya sesuai prosedur'. Saat ini, OJK harus menunjukkan sikap: menolak calon bermasalah, atau merekomendasikan evaluasi ulang proses seleksi," tegas Shandoya.
Ia menambahkan, bahwa jika OJK mengesahkan calon yang tidak memenuhi syarat substansial, maka mereka bukan hanya gagal menjalankan fungsi pengawasan, tapi juga berkontribusi dalam memperparah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan syariah.
Dalam situasi ini, OJK berada di persimpangan: memilih jalan tegak menjaga amanah publik dan marwah profesionalisme perbankan, atau jalan aman yang menyesuaikan diri dengan kepentingan politik.
Independensi OJK bukan sekadar jargon regulasi. Ia adalah fondasi dari kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan nasional, termasuk lembaga keuangan syariah daerah seperti Bank Aceh.
"Kalau OJK gagal bertindak benar hari ini, kita akan melihat lebih banyak lembaga keuangan daerah yang disandera politik ke depan. Dan rakyat kecil yang akan paling dulu merasakan dampaknya," tutup Shandoya. [nh]