DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivitas pembukaan lahan dan pembangunan ilegal di kawasan Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, kembali menjadi persoalan.
Yayasan APEL Green Aceh menilai, kerusakan yang terjadi di salah satu ekosistem gambut penting di pantai barat Aceh itu sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Mereka mendesak Kepolisian Resor Nagan Raya, Polda Aceh, dan Balai Gakkum Sumatra KLHK segera turun tangan menghentikan aktivitas tersebut.
Direktur APEL Green Aceh, Rahmad Syukur, dalam keterangannya kepada Dialeksis.com, menyebut bahwa timnya menemukan adanya pembukaan lahan besar-besaran menggunakan alat berat seperti buldoser dan ekskavator.
Berdasarkan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan selama beberapa pekan terakhir, kegiatan tersebut terdeteksi berlangsung di sejumlah titik dalam kawasan lindung gambut yang masuk ke dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
“Kami menemukan alat berat yang digunakan untuk meratakan lahan dan membuat jalur akses baru. Selain itu, terdapat sejumlah bangunan liar seperti pondok dan posko semi permanen yang berdiri tanpa izin,” ungkap Rahmad saat dihubungi oleh media dialeksis.com, Minggu (12/10/2025).
Menurutnya, bukti dokumentasi berupa foto, video, dan koordinat lokasi telah dikumpulkan dan menunjukkan dengan jelas adanya indikasi perusakan ekosistem gambut.
APEL Green Aceh menilai aktivitas itu tidak hanya melanggar ketentuan hukum lingkungan, tetapi juga berpotensi mengganggu fungsi hidrologi, meningkatkan risiko kebakaran lahan, dan mengancam habitat satwa endemik di kawasan Rawa Tripa.
“Kehadiran bangunan liar di kawasan gambut menandakan upaya permanenisasi yang sangat berbahaya. Jika dibiarkan, hal ini akan mempercepat hilangnya fungsi ekologis Rawa Tripa sebagai paru-paru alami di pantai barat Aceh,” tegasnya.
Rahmad menilai, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi salah satu faktor utama yang membuat kerusakan di kawasan ini terus berulang. Ia mendesak penyitaan alat berat sebagai barang bukti serta pembongkaran bangunan liar yang berdiri tanpa izin.
“Kami meminta Kepolisian dan Gakkum untuk menelusuri siapa saja yang terlibat mulai dari pemilik alat berat, pemilik lahan, hingga pihak yang memerintahkan atau memfasilitasi aktivitas tersebut. Semua harus dimintai pertanggungjawaban hukum,” ujar Rahmad.
Selain langkah penegakan hukum, APEL Green Aceh juga mendorong pembentukan tim investigasi gabungan untuk melakukan pemetaan cepat terhadap area yang rusak, titik-titik pembukaan lahan, dan jalur akses baru yang muncul.
Pemetaan ini, kata Rahmad, penting untuk menjadi dasar pemulihan ekosistem gambut sekaligus menetapkan batas wilayah yang harus direstorasi.
“Kerusakan di Rawa Tripa bukan hanya soal lingkungan, tapi juga menyangkut keselamatan masyarakat sekitar. Jika fungsi tata air rusak, banjir dan kebakaran akan lebih sering terjadi. Pemerintah harus bertindak sebelum terlambat,” ujarnya lagi.
Rahmad Syukur menegaskan, APEL Green Aceh akan terus memantau situasi di lapangan dan memastikan laporan masyarakat tidak diabaikan.
“Kami sudah menyerahkan seluruh data foto, video, dan titik koordinat kepada aparat. Kini, bola ada di tangan penegak hukum. Jika tindakan cepat tidak diambil, maka kerusakan Rawa Tripa akan semakin sulit dipulihkan,” pungkasnya. [nh]