Polemik Tes Baca Al-Qur’an: Desakan Diskualifikasi Bustami Hamzah Menguat di Tengah Masyarakat
Font: Ukuran: - +
Wen Rimba Raya, perwakilan dari Forum Galasantara Aceh. Foto: ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh kini tengah menghadapi polemik besar dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024. Bustami Hamzah, salah satu calon yang diusung dengan citra sebagai figur Umara dan Ulama, dinilai tidak layak dan disarankan untuk didiskualifikasi setelah gagal dalam tes uji mampu baca Al-Qur’an. Tes ini diselenggarakan oleh Dinas Syariat Islam dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada Rabu, 4 September 2024.
Tes tersebut, yang merupakan syarat wajib bagi setiap calon pemimpin di Aceh, memperlihatkan kelemahan signifikan Bustami dalam melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Beberapa saksi menyebutkan bahwa Bustami mengalami kesulitan dalam melafalkan ayat-ayat dengan tartil yang benar, dan bahkan tidak menutup bacaan dengan kalimat “Sadaqallahul Azim,” sebuah penutup yang lazim dalam tradisi Islam.
Peristiwa ini menimbulkan gelombang reaksi keras dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan tokoh agama. Banyak yang mempertanyakan bagaimana seseorang yang dikenal dengan citra religiusnya bisa gagal dalam tes yang merupakan simbol penting dalam kepemimpinan Islami di Aceh.
Wen Rimba Raya, perwakilan dari Forum Galasantara Aceh, menjadi salah satu suara yang paling lantang dalam menyuarakan desakan agar Bustami Hamzah didiskualifikasi. "KIP dan juri harus bertindak tegas. Bagaimana mungkin kita bisa menerima seorang pemimpin yang bahkan belum mampu memenuhi syarat utama dalam tradisi kepemimpinan Islami di Aceh?" tegasnya.
Menurut Wen, ketidakmampuan Bustami dalam tes ini bukan hanya sekadar kegagalan teknis, tetapi juga mencerminkan minimnya pemahaman dan kesadaran terhadap nilai-nilai dasar Islam. Hal ini dianggap sangat penting, mengingat Aceh menerapkan syariat Islam sebagai landasan hukum. "Ini bukan perkara kecil. Ini tentang moral dan integritas seorang pemimpin. Jika sejak awal sudah gagal dalam hal fundamental seperti ini, bagaimana kita bisa berharap banyak pada kepemimpinannya kelak?" tambah Wen dengan penuh keprihatinan.
Kritik terhadap Bustami Hamzah juga semakin tajam mengingat fakta bahwa pada Pemilu 2024, KIP pernah menggagalkan 19 bakal calon anggota DPRA yang tidak lulus tes baca Al-Qur’an. Hal ini membuat banyak pihak menuntut KIP untuk konsisten menerapkan standar yang sama tanpa pandang bulu, termasuk terhadap Bustami.
Di tengah masyarakat Aceh, kemampuan membaca Al-Qur’an bukanlah formalitas belaka, melainkan menjadi indikator utama dalam menilai kualitas keimanan dan kepemimpinan seorang calon pemimpin. Oleh karena itu, kegagalan Bustami dalam tes ini menimbulkan perdebatan sengit, terutama di kalangan masyarakat yang merasa bahwa pemimpin mereka haruslah seseorang yang mampu menjadi contoh dalam segala hal, termasuk dalam praktik keagamaan.
Desakan agar Bustami Hamzah didiskualifikasi bukan hanya datang dari Forum Galasantara Aceh, tetapi juga dari berbagai elemen masyarakat lainnya. Mereka khawatir jika norma-norma ini diabaikan, akan ada dampak buruk bagi masa depan Aceh. “Kita tidak ingin pemimpin yang hanya memanfaatkan agama sebagai alat kampanye, tetapi tidak mampu mengamalkannya dengan baik,” pungkas Wen.
Kini, semua mata tertuju pada KIP Aceh dan juri yang bertanggung jawab dalam proses seleksi ini. Keputusan yang akan mereka ambil dianggap sangat penting dan akan menjadi tolok ukur bagi masa depan kepemimpinan di Aceh. Apakah mereka akan berani mengambil langkah tegas untuk menjaga integritas proses pemilihan, atau justru menyerah pada tekanan politik? Hanya waktu yang bisa menjawab, tetapi yang pasti, keputusan ini akan membawa dampak besar terhadap citra dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi di Aceh.