Beranda / Politik dan Hukum / Pokir DPRA Dinilai Tidak Tepat Sasaran

Pokir DPRA Dinilai Tidak Tepat Sasaran

Rabu, 25 September 2024 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar. Foto: dok pribadi


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, menilai bahwa alokasi anggaran dari Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) selama ini tidak tepat sasaran. 

Ia menegaskan bahwa aspirasi masyarakat yang diusulkan melalui program Pokir sering kali menyimpang dari kebutuhan nyata masyarakat Aceh.

"Faktanya, jika kita melihat daftar paket-paket Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) yang diusulkan dari aspirasi masyarakat melalui Pokir anggota DPRA, sangat jauh dari kebutuhan masyarakat," ujar Nasruddin kepada Dialeksis, Kamis (25/9/2024).

Ia mengungkapkan modus operandi di balik penempatan paket Pokir yang cenderung lebih banyak masuk ke dalam program reguler Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). 

"Sebagai contoh, di Dinas Pendidikan Aceh, banyak anggaran Pokir yang dialokasikan untuk pengadaan buku, meubel sekolah, alat-alat drumband, hingga rehabilitasi kelas dan fasilitas sekolah lainnya. Semua itu adalah program reguler yang sudah dianggarkan melalui alokasi 20% anggaran pendidikan yang merupakan mandat undang-undang. Jadi, tanpa dana Pokir pun, anggaran pendidikan wajib ada," tegas Nasruddin.

Nasruddin juga menyoroti bagaimana program-program di Badan Dayah disusupkan ke dalam Pokir anggota Dewan, padahal sudah menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan Dayah untuk memenuhi kebutuhan pesantren dan dayah di Aceh. 

"Seharusnya, Pokir Dewan fokus pada kebutuhan masyarakat yang langsung berdampak pada peningkatan ekonomi dan pendapatan, seperti pembangunan jalan usaha tani, irigasi, perkebunan, perikanan, hingga usaha kecil menengah," tambahnya.

Lebih jauh, Nasruddin mengungkap adanya praktik tawar-menawar antara SKPA dan anggota DPRA terkait pembagian anggaran Pokir. 

"Program-program SKPA sering kali ditawarkan kepada anggota Dewan sesuai kesepakatan anggaran yang ditempatkan. Setelah itu, program tersebut dimasukkan ke dalam daftar Pokir Dewan di dinas terkait. Di sinilah transaksi terjadi, termasuk komitmen fee yang bervariasi antara 15-20%, tergantung pada kesepakatan," jelasnya.

Ia juga menyinggung keterlibatan oknum di Disdik Aceh dalam mengelola proyek konsultan kecil di bawah Rp100 juta yang masuk dalam Pokir Dewan. 

"Ini sudah menjadi rahasia umum. Para kepala bidang di Disdik mengelola proyek-proyek ini, sementara kepala dinas sering kali berpura-pura tidak tahu."

TTI menyerukan agar media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) turut mengawasi proses ini dengan ketat. Ia juga meminta kepada Kapolda Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh untuk mengusut praktik-praktik yang merugikan masyarakat, termasuk isu 'jatah' yang diberikan kepada petinggi aparat penegak hukum.***

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda