Pemilihan Calon JPT Pratama Kemenag Bukan Hanya Ruang Tarung Laki-laki
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Aceh - Berdasarkan pengumuman Nomor 02-PIPANSELIO312023 tentang Seleksi Terbuka Calon Pejabat Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama 2023 Kemenag, terpilih 18 calon yang dianggap memenuhi syarat administrasi dan dapat mengikuti tahapan selanjutnya.
Dari 18 nama calon, Asmanah terpilih sebagai satu-satunya perempuan yang lulus. Fakta ini menunjukkan bahwa proses seleksi yang selama ini terkesan sebagai ruang tarung yang didominasi oleh laki-laki juga bisa memunculkan perempuan-perempuan kompeten yang kompetitif.
Asmanah yang saat ini menjabat sebagai Widyaiswara Ahli Madya Kemenag Provinsi Aceh terbukti telah melalui serangkaian pelatihan kepemimpinan di LAN RI dan Pusdikl Administrasi Kemenag RI/Jakarta yang tentu saja bisa menjadi modalitasnya jika kelak terpilih sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama Kemenag.
Selain itu, alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Republik Indonesia ini juga merupakan alumni International Islamic University Malaysia (IIUM) dengan sejumlah penghargaan internasional bergengsi.
Seperti, Kepemimpinan Pengawas Peringkat Kebangsaan dan Antarbangsa yang diberikan oleh Kementrian Pelajaran Malaysia, Karya Setia Lencana yang diberikan oleh Presiden RI pada tahun 2014. Dan, Widyaiswara terbaik/peserta terbaik pada pelatihan kewidyaiswaran yang diberikan oleh Kapusdiklat Tenaga Teknis Kependidikan dan Keagamaan.
Sebagai satu-satunya perempuan yang lulus, Direktur Eksekutif Katahati Institute Raihal Fajri optimis bahwa Asmanah akan membawa pengaruh bagi keterwakilan dalam lini kepemimpinan publik di Aceh.
"Belum pernah kita lihat Kepala Dinas perempuan kecuali di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Ini kan terkesan sekali bahwa perempuan dianggap hanya mampu memimpin lembaga yang hanya mengurusi isu perempuan saja,” ujar Raihal.
Jika kita belajar dari pengalaman penjaringan calon pejabat publik sejenis di Aceh, maka sebenarnya amat sangat sulit dijumpai calon perempuan yang sukses dalam berkompetisi. Salah satu penyebabnya ialah stigma yang dapat ditarik pada kuatnya budaya patriarki.
“Dampak perang berkepanjangan di Aceh menghasilkan banyak masalah. Termasuk yang berkelindan dengan Kementrian Agama. Dengan adanya perempuan di garis depan diharapkan sejumlah kebijakan affirmatif dapat dibuat untuk mengakomodir semua kebutuhan kelompok dengan perspektif gender equality and social inclusion (GESI) yang potensial memberikan perhatian khusus pada kesetaraan gender dan pelibatan kelompok marginal. Termasuk korban pelanggaran HAM masa lalu serta penyandang disabilitas”, timpal Azharul Husna, Koordinator Kontras Aceh.
Perempuan Aceh sendiri banyak mengisi catatan sejarah sebagai sosok yang berada di garis depan, mulai dari atas singgasana kesultanan hingga ke medan perang. Ke depan, diharap perempuan-perempuan Aceh terus menunjukkan kapasitasnya yang mumpuni di segala bidang keahlian. [*]