Beranda / Politik dan Hukum / Pandangan Masyarakat Sipil atas Kekalahan Bustami di Pilkada 2024

Pandangan Masyarakat Sipil atas Kekalahan Bustami di Pilkada 2024

Senin, 16 Desember 2024 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Muhammad Adha Al Habsyi, M.Sc., seorang pengamat dari Masyarakat Sipil Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kekalahan Bustami dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh memunculkan beragam analisis terkait faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi hasil. 

Muhammad Adha Al Habsyi, M.Sc., seorang pengamat dari Masyarakat Sipil Aceh, menguraikan sejumlah penyebab utama yang berkontribusi pada kegagalan tersebut. 

Menurut Muhammad Adha, sistem pemilu di Indonesia yang kerap diwarnai dengan praktik money politic dan kecurangan menjadi tantangan besar dalam kontestasi satu lawan satu. Strategi Bustami yang tidak memecah suara lawan dianggap sebagai salah satu blunder besar. 

"Jika ada kandidat tambahan, suara lawan, terutama dari PA, bisa terpecah dan memberikan peluang lebih besar untuk Bustami. Namun, sayangnya strategi ini tidak diambil oleh tim 01," ungkapnya kepada Dialeksis.com, Senin (16/12/2024).

Kehilangan dukungan dari tokoh-tokoh penting menjadi pukulan besar bagi Bustami. Muhammad Adha mencatat, sejumlah ulama dan tokoh masyarakat justru beralih ke kubu 02. Di antaranya adalah Abu Lampisang, Abu di Pase, dan tokoh perempuan Golkar, Nuraini Maida.

"Dukungan dari ulama dan pimpinan pesantren sangat krusial di Aceh. Sayangnya, sejak awal, tokoh-tokoh seperti Abu Amran Wali dan Abu Djamaluddin Wali dari Pantai Barat Selatan sudah mendukung kubu 02," katanya.

Tim pemenangan Bustami dinilai kurang sistematis dan tidak terorganisir dengan baik, terutama dalam mengawal suara di tingkat akar rumput. 

"Tim terlalu bergantung pada arahan dari atas. Sementara itu, di tingkat bawah tidak ada pengawalan yang solid untuk menghadapi potensi kecurangan," jelas Muhammad Adha.

Menurutnya, tim 01 tidak memanfaatkan potensi rakyat bawah secara optimal, berbeda dengan 02 yang memberikan kewenangan penuh kepada relawan hingga ke tingkat desa.

Tim 01 terlalu mempercayakan pengelolaan pada partai politik tanpa melibatkan relawan secara penuh. 

"Relawan hanya diberikan wewenang terbatas, mulai dari pengelolaan dana hingga pengawasan di TPS. Padahal, kubu 02 memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menjaga suara, bahkan dengan alokasi dana khusus," jelasnya. 

Kelemahan lain adalah kurangnya koordinasi dan inovasi dalam strategi politik. Muhammad Adha menyoroti bahwa tim 01 lebih banyak menghabiskan waktu untuk kampanye daripada mempersiapkan langkah-langkah menghadapi kecurangan. 

"Kesiapan tim untuk menghadapi debat kandidat, penguasaan media, hingga menekan KIP untuk pengamanan ekstra sangat minim. Tim 01 tidak memikirkan serangan tak terduga dari lawan," ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya dominasi media untuk mempublikasikan dugaan kecurangan. "02 sangat terstruktur dalam menggunakan media, sedangkan tim Bustami hampir tidak memanfaatkannya dengan maksimal," tambahnya.

Faktor terakhir yang disorot adalah minimnya dana operasional yang terdistribusi hingga ke tingkat daerah. Dalam hal ini, katanya, dana operasional mandeg di tingkat atas, sementara daerah-daerah harus mencari sumber dana sendiri. Hal ini membuat para relawan dan ormas pendukung kehilangan motivasi untuk bekerja hingga ke pelosok desa.

"Jika ingin bersaing di masa depan, perbaikan dalam manajemen tim, distribusi dana, serta strategi politik yang matang harus menjadi prioritas," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI