Jum`at, 15 Agustus 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Merawat Damai Aceh, Taufik Abda Dorong Pengentasan Akar Kemiskinan di Gampong

Merawat Damai Aceh, Taufik Abda Dorong Pengentasan Akar Kemiskinan di Gampong

Rabu, 13 Agustus 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Muhammad Taufik Abda, pemerhati perdamaian, adat, gampong, dan mukim Aceh. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Muhammad Taufik Abda, pemerhati perdamaian, adat, gampong, dan mukim Aceh mengatakan perdamaian adalah kebutuhan sekaligus hak seluruh masyarakat, tanpa terkecuali.

Hal itu ia sampaikan dalam sebuah forum kajian dan refleksi perdamaian yang diselenggarakan Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian (Diskominsa) Aceh, Selasa, 12 Agustus 2025.

Menurutnya, ada kesalahan persepsi yang kerap muncul: bahwa merawat perdamaian hanya menjadi urusan mereka yang memiliki rekam jejak di masa konflik.

“Perdamaian adalah hak semua orang, jadi semua bertanggung jawab agar damainya tetap terhubung. Bicara damai bukan hanya milik segelintir pihak yang pernah berkonflik, tapi milik semua orang,” tegas Taufik kepada media dialeksis.com. 

Taufik menilai, untuk menjaga perdamaian, Aceh harus serius mengurai akar-akar konflik yang sesungguhnya. Ia mengutip pandangan akademisi Yusni Saby yang menyebutkan penyebab konflik seringkali berakar dari kemiskinan, kesenjangan, diskriminasi, hingga pengangguran.

“Semua ini harus diatasi. Kalau akar masalahnya tetap dibiarkan, potensi konflik sosial atau konflik antara masyarakat dengan negara akan terus ada,” ujarnya.

Salah satu fokus penting, menurut Taufik, adalah mengentaskan kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di ribuan gampong di Aceh. 

Ia mencontohkan, jika sebuah gampong memiliki angka kemiskinan tinggi, maka harus menjadi prioritas program penurunan angka kemiskinan.

Ada dua strategi besar yang ia tawarkan: mengurangi beban pengeluaran masyarakat dan meningkatkan pendapatan mereka.

 Program ini bisa diwujudkan lewat sektor pertanian, perikanan, dan pengembangan UMKM, atau melalui intervensi seperti subsidi kesehatan, bantuan bagi anak yatim, hingga program keluarga harapan (PKH).

Namun, Taufik mengingatkan, kebijakan pemerintah saja tidak cukup. Masyarakat sendiri harus memiliki manajemen bisnis dan keuangan yang baik agar bantuan dapat berkembang menjadi modal bergulir.

“Kadang-kadang kemiskinan itu bukan hanya karena pendapatan kecil, tapi pengelolaan keuangan rumah tangga yang kurang baik. Misalnya pengeluaran besar untuk hal yang tidak prioritas, padahal kebutuhan pendidikan atau pangan masih kurang,” kata Taufik.

Dalam pandangan Taufik, memperkuat perdamaian memerlukan tiga pilar utama yaitu engolahan pengetahuan dengan mengkaji dan merefleksikan kondisi perdamaian yang sudah ada, seperti yang dilakukan dalam forum Diskominsa Aceh.

Selain itu, perubahan kebijakan dengan mengadvokasi kebijakan yang berpotensi memicu konflik atau ketidakadilan, termasuk menyelesaikan anomali regulasi dan memastikan hak korban konflik terpenuhi.

Dalam hal ini, edukasi dengan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perdamaian adalah kebutuhan bersama, termasuk melalui pengorganisasian masyarakat di tingkat gampong.

“Perdamaian harus terintegrasi dengan kebijakan lain, tidak mungkin hanya dilakukan pemerintah atau Badan Reintegrasi Aceh (BRA) saja. Harus ada peran masyarakat, bahkan lintas gampong,” jelasnya.

Taufik juga menekankan pentingnya peran generasi muda dalam merawat perdamaian. Ia mendorong mereka untuk tidak terjebak pada romantisme masa konflik, melainkan fokus pada aksi-aksi nyata untuk memperkuat stabilitas sosial.

“Jangan sampai peran generasi muda hanya diukur dari sejak kapan kamu terlibat konflik. Perdamaian itu milik semua orang, semua berhak, semua punya tanggung jawab. Apapun profesinya, apapun aktivitasnya, semuanya butuh kondisi Aceh yang damai,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI