Beranda / Politik dan Hukum / Mantan Komisioner KPU Banten: KIP Aceh Harus Netral, Polemik TMS Bustami-Fadhil Perlu Dikaji Ulang

Mantan Komisioner KPU Banten: KIP Aceh Harus Netral, Polemik TMS Bustami-Fadhil Perlu Dikaji Ulang

Minggu, 22 September 2024 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Mashudi SE, mantan komisioner KPU Provinsi Banten periode 2018-2023. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik terkait status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bagi pasangan calon Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi dalam Pilkada Aceh kian menjadi sorotan publik. 

Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang menyatakan bahwa pasangan ini TMS memicu kontroversi, terutama setelah munculnya pernyataan bahwa ketidakterpenuhan syarat ini disebabkan oleh tidak dilakukannya penandatanganan komitmen MoU Helsinki di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). 

Dalam perkembangan terbaru, KPU RI telah mengeluarkan surat dinas yang menyatakan bahwa komitmen tersebut tidak berlaku, sehingga KIP Aceh diharapkan mencabut keputusannya.

Mashudi SE, mantan komisioner KPU Provinsi Banten periode 2018-2023 memberikan pandangannya mengenai tafsiran syarat pencalonan yang diatur dalam Qanun Aceh serta bagaimana KIP seharusnya menyikapi permasalahan ini.

Menurutnya, kalau membaca Qanun 7 sebagai perubahan dari Qanun 12, di pasal 24, syarat pencalonan itu tidak secara eksplisit menyebutkan adanya keharusan bagi calon untuk menandatangani komitmen menjalankan MoU Helsinki.

Ia menambahkan bahwa syarat seperti itu, jika dimasukkan, seharusnya bersifat opsional atau sekadar formalitas yang tidak mengikat pencalonan. 

"MoU Helsinki sebagian besar sudah diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Yang terpenting adalah menjalankan Undang-Undang tersebut," ujarnya.

Mashudi juga mempertanyakan langkah KIP Aceh yang menambahkan syarat calon terkait penandatanganan komitmen MoU Helsinki. 

Menurutnya, penambahan syarat ini cukup aneh karena seharusnya syarat yang bersifat individual bagi calon tidak boleh dikaitkan dengan mekanisme politik tertentu, seperti penandatanganan di hadapan DPRA.

"Kalau mau ditambahkan syarat calon oleh KIP sebagai penyelenggara, ya boleh-boleh saja meskipun agak aneh," ujarnya. 

Tetapi, Katanya, pemenuhan syarat calon itu mestinya dilakukan secara individual, seperti memiliki nomor pokok wajib pajak atau ijazah. 

Dalam hal ini, syarat penandatanganan MoU itu seharusnya tidak dikaitkan dengan DPRA, karena DPRA adalah forum politik dengan kepentingan politik masing-masing.

Mashudi dengan tegas menyatakan bahwa KIP, sebagai penyelenggara pemilu, harus bersikap netral dan tidak boleh terlibat dalam konflik politik.

"KIP harus menjadi penyelesai, bukan bagian dari konflik politik. Pilkada adalah konflik politik yang dilegalkan, dan penyelenggara harus menjadi penengah," ujarnya.

Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa keputusan KIP terkait syarat pencalonan yang dikaitkan dengan DPRA dapat dianggap sebagai bentuk ketidaknetralan. 

"Ini menjadi aneh ketika syarat calon yang bersifat individual dikaitkan dengan forum politik. Bisa jadi orang membaca ini sebagai bentuk imbal jasa atas keterpilihan anggota KIP oleh DPR setempat," ujarnya.

Di akhir wawancara, Mashudi berharap KIP Aceh segera mengkaji ulang keputusannya. Menurutnya, dengan adanya surat dinas dari KPU RI yang menyatakan bahwa penandatanganan komitmen MoU Helsinki di depan DPRA tidak berlaku, KIP Aceh seharusnya mencabut keputusan TMS terhadap pasangan Bustami-Fadhil.

"KIP harus segera mengoreksi langkahnya demi menjaga integritas penyelenggaraan Pilkada di Aceh," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda