Beranda / Politik dan Hukum / Lemahnya Qanun, Uji Mampu Baca Alquran Terlihat Formalitas

Lemahnya Qanun, Uji Mampu Baca Alquran Terlihat Formalitas

Jum`at, 06 September 2024 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Mantan penyelenggara KIP Aceh dan pemerhati kepemiluan, Tgk. Akmal Abzal, S.HI. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh kembali dihadapkan pada polemik soal uji baca Al-Quran bagi calon kepala daerah dan calon legislatif. 

Menurut Tgk. Akmal Abzal, S.HI, mantan penyelenggara KIP Aceh dan pemerhati kepemiluan, idealnya perubahan Qanun No. 12 Tahun 2016 menjadi Qanun 7 Tahun 2024 Tentang Pemilihan Gubernur /wakil Gebernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota, layak DPRA memperjelas dan memperkuat standardisasi uji mampu baca Al-Quran bagi calon kepala daerah. 

"Nyatanya, tidak mereka lakukan dan tiba-tiba dari gedung dewan terdengar suara untuk memanggil KIP Aceh dan segenap ucapan keluar seakan melontarkan kesalahan pada para pihak," ucap Tgk. Akmal kepada Dialeksis.com, Jumat (6/9/2024).

Menurutnya, kalaupun DPR Aceh mau memanggil KIP sudah terlambat dan sudah tidak tepat karena proses uji mampu telah selesai dan hasilnya pun telah beredar.

"Jika dewan serius, maka perbaiki saja standar uji mampu untuk pemilu ke depan agar bakal calon jauh hari bisa menyiapkan diri dan KIP dapat menyusun petunjuk teknis dalam memberikan penilaian, sehingga tim uji atau dewan hakim memiliki takaran jelas terhadap mampu dan tidak mampu seorang calon saat di uji," jelasnya.

"Untuk apa banyak pihak berkoar-koar di media jika patokan qanun itu tidak mengatur secara detail standardisasi uji kemampuan?" ujarnya. 

Ia menambahkan bahwa standar yang seharusnya diatur minimal setara dengan kemampuan menjadi imam salat, jadi sudah ada patokannya.

Namun, yang menjadi sorotan adalah mengapa para legislator yang mengetahui kelemahan dalam tata cara dan format standar uji kemampuan ini tidak segera memperbaiki point dalam qanun tersebut. 

Tgk. Akmal Abzal mengusulkan agar qanun ini tidak hanya merevisi syarat mampu membaca Al-Quran, tetapi juga menambahkan persyaratan lain yang lebih relevan dengan kekhususan Aceh, seperti kemampuan untuk berkhutbah atau membaca doa jenazah.

"Sehingga kepala daerah Aceh nanti merupakan personal yang siap tampil pada urusan dunia dan sekaligus mahir juga dalam bidang akhirat," sebutnya.

Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa jika persyaratan ini diperketat, pemilu legislatif 2029 sangat memungkinkan akan mengalami penurunan jumlah calon yang mendaftar.

 "Hal ini pernah menjadi diskusi panjang lintas politisi pada pemilu 2009. Jika standar uji terlalu ketat, beberapa partai mungkin tidak memiliki caleg yang mendaftar," ungkapnya.

Kondisi serupa juga berpotensi terjadi dalam Pilkada. 

"Jika syarat kemampuan membaca Al-Quran dan tambahan lain seperti kemampuan khutbah diperketat, bisa jadi tidak akan mudah melahirkan calon yang mau mendaftar," tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa kondisi objektif di Aceh tidak semua menjadikan Al-Quran sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. 

"Membaca Al-Quran dengan baik, dari segi makharijul huruf, tahsin dan tajwid, adalah manifestasi ketaatan seorang Muslim. Ini bukan hanya formalitas belaka, tetapi cerminan kualitas diri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin di Aceh," tutup Tgk. Akmal Abzal. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda