LBH Banda Aceh: Pemerintah Indonesia Harus Belajar dari KKR Aceh, Bukan Hapus Qanun
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Aulianda Wafisa, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aulianda Wafisa, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, menyayangkan langkah Kemendagri yang dinilainya sebagai upaya mereduksi makna perdamaian dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh.
“KKR Aceh adalah anak kandung dari kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tertuang dalam MoU Helsinki 2005,” tegas Aulianda kepada Dialeksis.com, Selasa (12/11/2024).
Dalam sebuah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 7 November 2024, Pemerintah Aceh diminta mempertimbangkan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 terkait Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Menurut Kemendagri, keberadaan KKR Aceh dianggap bertentangan dengan regulasi nasional karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang menjadi landasan hukumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006.
Aulianda menjelaskan bahwa semangat pendirian KKR Aceh berbeda dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional yang dibatalkan pada 2006.
“Pembentukan KKR Aceh bukan bergantung pada KKR Nasional, melainkan pada kesepakatan perdamaian. MoU Helsinki mengamanatkan sebuah komisi khusus yang berfokus pada pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan pemulihan korban pelanggaran HAM di Aceh. Dengan kata lain, keberadaan KKR Aceh berdiri sendiri berdasarkan kebutuhan khusus Aceh,” jelas Aulianda.
Menurut Aulianda, Qanun KKR Aceh tidak dapat begitu saja dibatalkan hanya karena KKR Nasional sudah tidak ada.
“Jika KKR Aceh bergantung pada KKR Nasional, seharusnya ia tak pernah ada sejak awal. Kenyataannya, KKR Aceh justru lahir dari semangat yang berbeda dan memiliki dasar hukum tersendiri, yaitu Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA),” tambahnya.
Aulianda juga menekankan bahwa KKR Aceh mendapat perhatian dan pujian internasional sebagai contoh penyelesaian konflik berbasis keadilan dan pemulihan korban.
Banyak negara, seperti Timor Leste, Filipina, dan Myanmar, mengirim perwakilan untuk mempelajari model KKR Aceh dalam upaya meredam konflik di negara mereka.
“Pemerintah Indonesia diakui dunia internasional berkat KKR Aceh. Ini menunjukkan bahwa keberadaan KKR Aceh bukan hanya berarti bagi rakyat Aceh tetapi juga menjadi contoh positif bagi rakyat Indonesia,” ungkap Aulianda.
Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya justru menjadikan KKR Aceh sebagai acuan untuk mendirikan kembali KKR Nasional, bukan malah mempersoalkan keberadaannya.
Aulianda menambahkan bahwa keberadaan KKR Aceh harus dilihat sebagai langkah yang sesuai dengan semangat perdamaian dan penghormatan terhadap hak-hak korban pelanggaran HAM.
“KKR Aceh adalah lembaga satu-satunya yang berpusat pada kepentingan korban. Ini adalah lembaga khusus yang memiliki tujuan utama mengakui kebenaran, memberikan reparasi, dan memulihkan martabat korban. Langkah-langkah untuk menghapus KKR Aceh sama saja dengan mengabaikan hak-hak mereka,” ujarnya.
Menurut Aulianda, tanggapan Kemendagri menunjukkan bahwa perdebatan ini masih berkutat pada pandangan formalistik semata tanpa memperhatikan makna substantif yang terkandung dalam KKR Aceh.
"Menghapus KKR Aceh dengan hanya berlandaskan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus KKR Nasional menunjukkan bahwa pemerintah tidak memahami konteks spesifik Aceh. Seharusnya pemerintah pusat membaca situasi Aceh dengan kacamata yang lebih luas, melihat perdamaian dan hak-hak korban sebagai hal yang utama,” paparnya.
Dalam pandangan LBH Banda Aceh, KKR Aceh merupakan komponen integral dari perdamaian yang telah diraih Aceh melalui upaya panjang dan berliku.
Pembatalan Qanun KKR Aceh bukan hanya akan menjadi sebuah kemunduran bagi Aceh, tetapi juga akan mencederai martabat perdamaian yang selama ini telah dicapai.
“Kami mendesak Pemerintah Aceh untuk menolak saran pencabutan ini dan mempertahankan KKR Aceh demi menghormati hak-hak korban,” tegas Aulianda.
Ke depan, LBH Banda Aceh berharap pemerintah pusat dan Kemendagri dapat lebih bijaksana dalam mengambil langkah terkait isu-isu sensitif yang berhubungan dengan perdamaian di Aceh.
“KKR Aceh adalah simbol perdamaian dan pengakuan atas hak korban. Setiap upaya untuk menghapus keberadaan KKR Aceh adalah bentuk pengkhianatan terhadap perdamaian itu sendiri,” tutup Aulianda. [nh]
- Langkah Pusat Terhadap KKR Aceh Dinilai Cederai Perdamaian, KontraS: Jangan Abaikan Hak Korban
- Pemerintah Indonesia Genjot Ekspor Udang Vaname ke Pasar Mesir
- LBH Desak Pangdam IM Evaluasi TNI Terkait Lambannya Proses Kasus Kematian Warga Lokop
- Santri Disiram Air Cabai di Aceh Barat, LBH Banda Aceh: Bisa Dipidanakan