Kutukan Calon Elitis di Pilgub Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Aduwina Pakeh, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku Umar. Foto: for Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemilihan Gubernur Aceh menyimpan ironi tersendiri. Dalam tiga kali pelaksanaan, calon yang dianggap elitis selalu gagal meraih kursi tertinggi di provinsi ujung barat Indonesia itu.
Aduwina Pakeh, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku Umar, menjelaskan kepada Dialeksis.com pada Sabtu (3/8), "Calon elitis biasanya berasal dari kalangan birokrat senior, mantan petinggi militer, atau pejabat yang pernah menjabat sebagai pelaksana tugas gubernur Aceh, termasuk incumbent."
Menurut Aduwina Pakeh, fenomena ini menempatkan calon elitis sebagai semacam "tumbal politik". "Mereka dijadikan sumber pemasukan lewat pencalonan. Didukung bukan untuk dimenangkan, tapi untuk diambil uangnya," ujarnya saat dihubungi Dialeksis.
Ia merinci tiga kali Pilgub Aceh pasca perdamaian. Pada 2006, calon elitis seperti Tamlicha Ali, Djali Yusuf, Malek Raden, dan Azwar Abubakar kalah dari Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang maju dari jalur independen.
Pilgub 2012 menyaksikan kekalahan incumbent Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan dari pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf yang diusung Partai Aceh.
Sementara pada 2017, incumbent Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, serta Tarmizi Karim yang dianggap titipan pusat, kalah dari Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah.
"Kita perlu mengamati apakah 'kutukan' ini akan berlanjut di Pilgub 2024," ujar Aduwina.
Ia menyoroti Bustami Hamzah, Penjabat Gubernur Aceh saat ini, yang dipersepsikan sebagai calon elitis titipan Presiden Joko Widodo.
Aduwina menekankan pentingnya penelitian politik terkait fenomena ini. "Kita perlu mengkaji mengapa calon elitis kerap dijadikan tumbal politik di setiap momentum Pilgub Aceh," tutupnya.