Korupsi Wastafel Aceh: Peraktisi Hukum Desak Penyidikan Harus Tuntas Ke Aktor Utama
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
DIALEKSIS.COM | Aceh - Kasus dugaan korupsi pengadaan wastafel untuk sekolah di Aceh senilai Rp. 43 miliar kembali menyita perhatian publik. Kasibun Daulay, S.H., seorang pengacara ternama di Aceh, menyoroti perkembangan terbaru kasus ini dengan nada kritis.
"Kasus ini menunjukkan betapa peliknya praktik korupsi di lingkungan pemerintahan. Yang seharusnya menjadi proyek untuk kebersihan malah justru mengotori tangan para pelakunya," ujar Kasibun kepada Dialeksis, Minggu (22/9).
Menanggapi fakta persidangan yang mengungkap keterlibatan sejumlah nama, termasuk Syifak Muhammad Yus yang mendapat 159 paket pekerjaan dari total 390 paket, Kasibun menekankan kecurigaannya.
"Ini sangat mencurigakan. Bagaimana mungkin seorang individu bisa mendominasi proyek sebesar itu ? Apalagi ada indikasi keterlibatan relasi keluarga yang sangat berpengaruh sehingga bisa terjadi seperti itu," tegasnya.
Pengacara senior ini juga mempertanyakan penetapan tersangka yang dinilai tidak adil. "Apabila dasar dugaan korupsi adalah kekurangan volume atau ketidaksesuaian spesifikasi, seharusnya bukan hanya tiga orang yang dijadikan tersangka," kata Kasibun.
Ia merujuk pada Rachmat Fitri (mantan Kadisdik Aceh), Muchlis (Pejabat Pengadaan), dan Zulfahmi (PPTK) yang kini menjadi terdakwa.
"Seharusnya aparat penegak hukum fair dalam melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka.
Para rekanan juga seharusnya ditetapkan sebagai tersangka," tambahnya.
Kasibun menekankan pentingnya pemulihan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi.
"Menjadi sangat janggal jika nantinya majelis hakim menyatakan ada kerugian negara sebesar Rp7,2 miliar, tapi hanya pihak dinas yang dituntut mengembalikannya. Padahal pelaksana kegiatan adalah kontraktor," dan merekalah yang mengelola anggarana negara tersebut jelasnya.
Lebih lanjut, Kasibun menyoroti temuan Tim Ahli Konstruksi dari Politeknik Negeri Lhokseumawe yang mengungkap adanya ketidaksesuaian dalam pelaksanaan proyek.
"Adanya item pekerjaan yang tidak dikerjakan atau tidak sesuai kontrak jelas merugikan negara. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi kesengajaan untuk mengambil keuntungan pribadi," tegasnya.
Pengacara ini juga mengkritisi sistem pengadaan yang digunakan. "Penunjukan langsung (PL) untuk proyek sebesar ini sangat rawan penyimpangan. Seharusnya ada mekanisme yang lebih ketat untuk mencegah manipulasi," katanya.
Kasibun mendorong penegak hukum untuk mendalami kasus ini lebih jauh. "Jangan hanya 'kelas teri' yang dijadikan tersangka, sementara 'hiu-hiu besar' masih bebas berenang," tegasnya, menggunakan metafora untuk menggambarkan pentingnya menjerat semua pihak yang terlibat, termasuk yang mungkin memiliki pengaruh lebih besar.
Sebagai penutup, Kasibun berharap kasus ini bisa menjadi pelajaran berharga. "Ini bukan hanya tentang wastafel, tapi tentang integritas. Semoga kasus ini bisa membersihkan 'kuman KKN' yang masih bercokol di tubuh pemerintahan kita," pungkasnya.
Kasus dugaan korupsi proyek wastafel ini masih dalam proses persidangan di PN Tipikor Banda Aceh. Masyarakat Aceh menantikan hasil yang adil dan transparan dari proses hukum yang sedang berjalan, dengan harapan semua pihak yang terlibat dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan peran mereka masing-masing dalam kasus tersebut.