Beranda / Politik dan Hukum / Ketua KIP Aceh: Keputusan MK Tidak Berlaku di Aceh

Ketua KIP Aceh: Keputusan MK Tidak Berlaku di Aceh

Jum`at, 23 Agustus 2024 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Saiful. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Saiful, menegaskan bahwa dua keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja diumumkan terkait pencalonan kepala daerah pada Pilkada 2024 tidak akan berdampak di Aceh. 

Menurut Saiful, Aceh memiliki kekhususan yang diatur dalam Undang-Undang dan Qanun Aceh, yang tetap menjadi acuan utama dalam penyelenggaraan Pilkada di provinsi tersebut.

"Putusan Mahkamah Konstitusi memang krusial bagi banyak daerah, tetapi untuk Aceh tidak berdampak. Ini karena Aceh memiliki kekhususan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang diikuti oleh berbagai Qanun terkait Pilkada," ujar Saiful dalam wawancara dengan wartawan di workshop bertajuk "Peliputan Pemilu & Pilkada 2024 oleh Media di Aceh" yang diselenggarakan oleh Dewan Pers pada Kamis (22/8/2024) di Banda Aceh. 

Saiful menjelaskan bahwa sebagai daerah yang memiliki status istimewa dan khusus, Aceh tidak hanya mengikuti ketentuan yang berlaku secara nasional. 

Sebaliknya, provinsi ini memiliki landasan hukum tersendiri yang diatur dalam UUPA dan sejumlah Qanun, seperti Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh serta Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Menurut Saiful, Qanun Pilkada Aceh ini tidak hanya mengatur proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, tetapi juga menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah di Aceh. 

"Misalnya, pencalonan kepala daerah di Aceh bisa diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh minimal 15 persen kursi di DPR Aceh atau DPRK, atau 15 persen suara dari akumulasi perhitungan suara sah," jelas Saiful.

Lebih lanjut, Saiful menyebutkan bahwa di Aceh, partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR Aceh atau DPRK pun bisa mengusulkan pasangan calon kepala daerah, asalkan mereka memperoleh minimal 15 persen suara dari akumulasi suara sah pada pemilu sebelumnya.

 "Ini adalah salah satu bentuk kekhususan Aceh yang tidak dimiliki oleh provinsi lain di Indonesia," tambahnya.

Selain itu, Qanun Pilkada Aceh juga mengatur beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah, seperti kemampuan membaca Alquran dan usia minimal calon yang harus mencapai 30 tahun pada saat pendaftaran. 

Hal ini, menurut Saiful, merupakan cerminan dari nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat Aceh.

Dengan demikian, Saiful menegaskan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi yang baru saja dikeluarkan, yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024, tidak akan mempengaruhi aturan pencalonan kepala daerah di Aceh untuk Pilkada Serentak 2024. 

"Sejauh Pasal UUPA dan Qanun Pilkada Aceh tersebut belum di-judicial review atau diubah, maka aturan ini masih berlaku di Aceh," ungkap Saiful dengan tegas.

Sebagaimana diketahui, Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dari Mahkamah Konstitusi mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di tingkat nasional. 

Namun, karena Aceh memiliki kekhususan yang diatur dalam UUPA dan Qanun, aturan tersebut tidak serta-merta berlaku di Aceh.

"Ini adalah salah satu contoh bagaimana kekhususan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap dihormati dan dijaga. Kami di KIP Aceh akan terus berkomitmen untuk menyelenggarakan Pilkada yang adil, jujur, dan sesuai dengan aturan yang berlaku di Aceh," tutup Saiful. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda