DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh, Dr. Wiratmadinata, menanggapi serius penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di Aceh, Selasa, 5 Agustus 2025. Keduanya diduga terlibat dalam jaringan terorisme.
Terkait dengan penangkapan itu, Dr Wiratmadinata menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada kepada pihak Densus 88, yang telah sukses melaksanakan tugasnya.
Penangkapan tersebut, kata Dr. Wira, menjadi bukti nyata bahwa virus radikalisme tidak mengenal status sosial, jabatan, ataupun institusi. Bahkan aparatur negara pun bisa terpapar jika tidak ada upaya sistematis untuk membentengi mereka dengan literasi kebangsaan dan wawasan keagamaan yang moderat.
“Penangkapan ini alarm keras bagi kita semua. Bahwa paham radikal dan terorisme masih hidup, masih beroperasi, serta secara laten masih menyusup--bahkan ke dalam tubuh birokrasi,” ujarnya kepada Dialeksis, Selasa.
Ia menegaskan, Aceh masih menjadi wilayah yang sangat rawan terhadap penyebaran ideologi kekerasan, terutama jika dibiarkan tumbuh di ruang-ruang yang sulit terpantau, karena terkamuflase dalam institusi-institusi publik, termasuk lembaga pemerintah atau semi pemerintah.
“Kita tidak boleh lengah. Kejadian ini menunjukkan bahwa kelompok teroris tidak hanya menyasar masyarakat biasa, yang lemah secara sosial ekonomi, tapi juga di kalangan ASN yang memiliki akses, otoritas, bahkan mungkin posisi strategis dalam pemerintahan,” tegasnya.
Menurut dia, peristiwa ini harus menjadi catatan serius bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar lebih agresif dalam melakukan pencegahan ideologi ekstrem.
“Teroris hari ini tidak lagi bergerak dengan cara lama. Mereka menyusup secara halus, memanfaatkan celah ideologis dan kelemahan sistem pengawasan. Ketika seorang ASN bisa terpapar, itu artinya mereka telah menjadikan institusi negara sebagai target penyebaran paham mereka. Ini sangat strategis dan berbahaya,” ungkapnya.
FKPT Aceh, kata Wira, sejak awal terus mendorong penguatan literasi kebangsaan di semua lini, termasuk di lingkungan ASN, lembaga pendidikan, dan komunitas masyarakat.
“Kita butuh kerja sama semua pihak. Bukan hanya tugas Densus 88. Pemerintah daerah harus berani membuat kebijakan yang mencegah radikalisme tumbuh, bukan sekadar reaktif setelah ada penangkapan,” ujarnya.
Ia juga mengapresiasi langkah cepat Densus 88 dalam mengungkap jaringan terorisme tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa pendekatan keamanan saja tidak cukup.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan penangkapan. Pencegahan jauh lebih penting. Tanpa membangun kesadaran ideologis, kita hanya akan terus sibuk memadamkan api tanpa pernah tahu siapa yang membawa bensinnya,” pungkasnya.