DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Suasana aksi demonstrasi ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Aceh (ARA) di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendadak riuh ketika Ketua DPRA, Zulfadhli, melontarkan pernyataan yang mengejutkan.
Di hadapan massa aksi, politisi Partai Aceh itu tiba-tiba mengucapkan kalimat tanya yang memicu sorak-sorai dan tepuk tangan pendemo. “Apa perlu minta poin satu lagi? Pisah aja Aceh dengan Pusat (Indonesia),” ujarnya lantang di pelataran gedung dewan di hadapan massa aksi, Senin, 1 September 2025.
Pernyataan tersebut keluar setelah para mahasiswa membacakan tujuh poin tuntutan yang mereka sebut sebagai Agenda Rakyat Aceh.
Di antaranya adalah penolakan pembangunan lima batalyon baru di Aceh, evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang, dan desakan agar pemerintah pusat menghormati kekhususan Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Saat dimintai penjelasan lebih jauh oleh awak media mengenai pernyataannya tersebut, Zulfadhli memilih irit bicara. “Sudah, sudah ya. Seperti yang di depan tadi. Sudah ditandatangani,” katanya sambil berlalu.
Sikap Zulfadhli itu memunculkan spekulasi di kalangan wartawan dan peserta aksi. Namun, ia memastikan bahwa DPRA bersama rakyat Aceh menolak keras pembangunan lima batalyon baru yang direncanakan pemerintah pusat.
“Ini jelas bertentangan dengan UUPA. Aceh punya kewenangan khusus, termasuk dalam pengaturan keamanan. Maka, kita tolak pembangunan batalyon di Aceh,” tegasnya di hadapan massa.
Selain soal batalyon, Ketua DPRA juga menyoroti persoalan tambang yang menjadi salah satu tuntutan utama massa aksi. Menurutnya, masalah pengelolaan tambang yang kerap merugikan masyarakat Aceh akan dibahas serius di tingkat dewan.
“Terkait dengan tuntutan evaluasi terhadap tambang, kita komitmen menindaklanjutinya. Ini akan kita bahas dalam rapat paripurna DPR Aceh,” ujar Zulfadhli.
Ia menekankan bahwa lembaga legislatif daerah memiliki tanggung jawab untuk mengawal kekhususan Aceh, terutama dalam sektor sumber daya alam.
“Jangan sampai kekayaan alam Aceh hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara rakyat tetap menderita,” tambahnya.