Kerawanan Partisipasi Perempuan di Pencalonan Pilkada Aceh Tahun 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry, Rizkika Lhena Darwin. Foto: for Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry, Rizkika Lhena Darwin, menyoroti penurunan keterwakilan perempuan dalam kontestasi Pilkada Aceh 2024. Menurutnya, fenomena ini bertolak belakang dengan tren nasional yang menunjukkan peningkatan jumlah calon kepala daerah perempuan.
"Pada Pilkada 2017, kita memiliki lima calon kepala daerah perempuan. Namun di Pilkada 2024, jumlahnya menurun menjadi hanya empat calon di tiga kabupaten/kota, yaitu Simeulue, Langsa, dan Banda Aceh," ujar Rizkika dalam diskusi daring "Merespon Polemik Kerawanan di Pilkada Aceh" yang digelar Jaringan Survei Inisiatif, Sabtu (16/11/2024).
Akademisi ini menggarisbawahi pentingnya memperhatikan kerawanan politik berbasis gender dalam Pilkada. Ia mendorong dibentuknya desk pengaduan khusus untuk menangani kampanye negatif yang menyasar calon pemimpin perempuan.
"Kita membutuhkan mekanisme pengaduan berbasis gender. Kampanye negatif terhadap calon perempuan harus ditindaklanjuti secara serius, ini bukan hal sepele," tegasnya.
Rizkika juga menyoroti kerentanan pemilih perempuan terhadap politik uang. "Ibu-ibu adalah kelompok yang paling rentan terhadap praktik politik uang. Kita perlu mekanisme khusus untuk melindungi hak pilih mereka," jelasnya.
Menurut pengamat politik ini, rendahnya keterwakilan perempuan dalam kontestasi Pilkada bisa berdampak pada kualitas demokrasi. "Ketika hak warga negara untuk maju dalam kontestasi kepala daerah tidak terlindungi, hal ini akan melemahkan sistem demokrasi kita," tambahnya.
Rizkika menekankan perlunya penguatan pendidikan politik bagi perempuan dan sosialisasi pentingnya kepemimpinan perempuan di ranah publik. Ia berharap para pemangku kepentingan dapat memberikan perhatian lebih serius terhadap isu keterwakilan perempuan dalam politik.
"Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bukan sekadar pemenuhan kuota. Ini adalah upaya membangun demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan gender," pungkasnya.
Dalam diskusi tersebut, sejumlah peserta juga menyoroti pentingnya penguatan kapasitas perempuan dalam politik dan perlunya dukungan sistem untuk mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam kontestasi politik di Aceh.