DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kasus mafia akses judi online (judol) di tubuh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kembali memanas. Nama Menteri Koperasi sekaligus mantan Menkominfo (2023 - 2024), Budi Arie Setiadi, mencuat dalam dakwaan jaksa yang menyebut dirinya menerima 50% keuntungan dari praktik ilegal tersebut. Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan, kewenangan penyidikan tersangka baru sepenuhnya ada di Polda Metro Jaya. Sementara Budi Arie membantah keras, menyebut dakwaan itu sebagai "narasi jahat".
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan pihaknya tak bisa menambah atau mengurangi tersangka dalam berkas perkara yang dikirim penyidik. "Kami bekerja berdasarkan fakta di berkas. Jika penyidik menemukan pihak lain bersalah, itu wewenang mereka," ujarnya di Jakarta, Senin (19/5).
Harli menjelaskan, Kejagung hanya berperan memeriksa saksi yang tercantum dalam berkas penyidikan.
"Nama yang muncul di dakwaan berasal dari keterangan saksi selama penyidikan di Polda," tambahnya. Pernyataan ini merujuk pada pencantuman nama Budi Arie dalam dakwaan empat pegawai Kominfo terkait praktik "perlindungan" situs judol.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (14/5), jaksa mengungkap pertemuan tersangka di Cafe Pergrams, Senopati, pertengahan 2024. Pertemuan itu membahas skema tarif Rp8 juta per situs judol yang "diamankan".
Hasilnya, pembagian keuntungan disepakati: 50% untuk Budi Arie Setiadi (saat itu Menkominfo), 30% untuk Zulkarnaen Apriliantony (eks Pejabat Kominfo), dan 20% untuk Adhi Kismanto (rekan Zulkarnaen).
Jaksa menyebut Budi Arie meminta Zulkarnaen merekrut tim khusus untuk mengawasi situs judol. Namun, alih-alih memblokir, tim ini justru mematok tarif perlindungan.
Atas tuduhan itu Budi Arie membantah seluruh dakwaan. Dalam konferensi pers tertulis, Senin (19/5), ia menyatakan:
"Tidak Ada Komunikasi": Tidak pernah ada pembicaraan dengan tersangka soal bagi hasil.
"Tidak Tahu Praktik Ilegal": Klaim baru mengetahui kasus ini setelah polisi mengungkapnya.
"Tidak Ada Aliran Dana": Menantang jaksa membuktikan adanya transfer uang ke rekeningnya.
"Ini narasi jahat untuk menghancurkan reputasi saya. Justru saya gencar blokir 800 ribu situs judol saat menjabat. Cek saja digital track record-nya!" tegasnya.
Budi menduga tersangka sengaja menjual namanya agar praktik mereka "aman". "Mereka tahu saya anti-judol. Makanya, pakai nama menteri biar kelihatan legal," ujarnya.
Selanjutnya merespon pernyataan Kejagung, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan pihaknya siap memeriksa kembali Budi Arie jika ada petunjuk baru. "Kami pernah periksa beliau sebagai saksi pada 2024. Jika hakim minta, kami koordinasi ulang," kata Sigit di Jakarta, Selasa (20/5).
Budi sebelumnya diperiksa Bareskrim pada 19 Desember 2024. Namun, hingga kini, statusnya tetap sebagai saksi.
Reaksi dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyerahkan seluruh proses kepada hukum. "Pemerintah tidak intervensi. Kami harap media dan publik bersikap proporsional," ujarnya.
Hasan mengaku belum berkomunikasi langsung dengan Budi Arie terkait kasus ini, tetapi menegaskan akses koordinasi antarinstansi tetap lancar.
Pencantuman nama Budi Arie dalam dakwaan tanpa bukti transfer dana memicu kritik. Pakar Hukum Pidana UI, Andi Simangunsong, menjelaskan: "Keterangan saksi bisa jadi dasar dakwaan, tetapi hakim umumnya perlu bukti kuat seperti dokumen atau aliran keuangan."
Kuasa hukum Budi Arie, Ferdiansyah, menyiapkan nota keberatan. "Pencantuman nama klien kami dalam dakwaan telah menciderai prinsip praduga tak bersalah," protesnya.
Sebagai Menkominfo, Budi Arie mengklaim sejumlah capaian; memblokir 800.000+ situs judol (2023-2024), memperkuat sistem artificial intelligence (AI) pendeteksi konten ilegal, dan menggandeng Kominfo dengan kepolisian untuk operasi take down.
"Jika saya bagian dari mafia, mengapa ribuan situs kami tutup?" tanyanya retoris.
Direncanakan akan dilakukan sidang lanjutan empat tersangka utama akan berlanjut pekan depan dengan menghadirkan saksi kunci.
Kasus ini menguji konsistensi penegakan hukum di tubuh birokrasi. Di satu sisi, Kejagung dan Polri dituntut objektif. Di sisi lain, Budi Arie harus membuktikan diri korban "jual nama" atau justru terjerat jaringan sistemik. Masyarakat menanti: akankah palu hakim menjawab semua teka-teki?
Laporan ini mengutip berkas dakwaan PN Jaksel, pernyataan resmi Kejagung, dan keterangan Budi Arie Setiadi. Proses hukum masih berlangsung; semua pihak dianggap tidak bersalah hingga ada putusan inkrah.