Kamis, 07 Agustus 2025
Beranda / Politik dan Hukum / JARI Minta Data Aset Eks PT Arun dan Exxon, SKK Migas Tolak Buka Informasi

JARI Minta Data Aset Eks PT Arun dan Exxon, SKK Migas Tolak Buka Informasi

Rabu, 06 Agustus 2025 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Sidang sengketa informasi di KIP. Dokumen Yara untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketegangan antara Pemerintah Pusat dan masyarakat Aceh kali ini soal keterbukaan informasi publik terkait aset strategis yaitu minyak dan gas bumi (migas).

Jaringan Advokasi Rakyat Indonesia (JARI) resmi mengajukan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Pusat (KIP), dengan dua perkara terpisah yang melibatkan Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Perkara tersebut teregister dengan nomor 046/XII/KIP-PS/2021 (antara JARI dan Setneg), serta 047/XII/KIP-PS/2021 (antara JARI dan SKK Migas).

Ketua JARI, Safaruddin, mengungkap bahwa informasi yang mereka minta sangat penting bagi rakyat Aceh. Salah satu sorotannya adalah implementasi dari Pasal 90 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015, yang menyatakan bahwa ketika Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) terbentuk, maka seluruh kontrak kerja sama migas di Aceh yang selama ini berada di bawah kendali SKK Migas seharusnya dialihkan ke BPMA.

Seluruh aset migas, termasuk yang pernah dimiliki atau dikelola oleh perusahaan besar seperti PT Arun LNG dan Exxon Mobil, seharusnya masuk dalam pengelolaan BPMA.

Namun kenyataannya, hingga kini proses alih kelola itu tidak tuntas. Informasi soal daftar aset, alasan kontrak belum dialihkan, hingga rincian pembelian atau pembangunan aset di Aceh, tetap tidak dibuka kepada publik.

“Ini bukan semata-mata soal data, tapi soal keadilan. Aset-aset itu dibangun dari hasil bumi Aceh. Wajar jika masyarakat ingin tahu bagaimana pengelolaannya dan untuk siapa hasilnya digunakan,” tegas Safaruddin kepada media dialeksis.com, Rabu, 6 Agustus 2025.

Sidang yang dipimpin oleh Majelis Komisioner KIP, yaitu Rospita Vici Paulyn (Ketua), Aria Sandi Yuda, dan Samrotunnajah Ismail, mempertanyakan secara langsung kepada Setneg mengapa informasi yang diminta tidak diberikan kepada pemohon.

Setneg, yang diwakili oleh Tim Hukumnya Oky Tri Handoko, Wulan Nawang Sari, Anygerah Safieq, dan Liberti Maranata beralasan bahwa pihaknya telah menjawab permohonan informasi itu dalam surat resmi tertanggal 7 Oktober 2021 dan 3 November 2021, serta mengarahkan JARI agar menyampaikan permintaan tersebut ke Kementerian ESDM.

Namun jawaban ini tidak memuaskan Majelis Komisioner. Dalam pernyataannya, Rospita menyebut bahwa perkara dengan Setneg akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mediasi, dan meminta agar Kementerian ESDM juga dapat dihadirkan.

“Kami menilai perlu klarifikasi langsung dari ESDM karena mereka dianggap sebagai pihak yang memiliki informasi primer terkait kebijakan dan pelaksanaan PP 23/2015,” ujar Rospita.

Berbeda dengan Setneg yang memilih melempar bola ke Kementerian lain, SKK Migas menyatakan bahwa informasi yang diminta oleh JARI tergolong informasi yang dikecualikan.

Padahal, JARI meminta tiga jenis informasi krusial, yakni daftar aset tanah dan bangunan yang disetujui pembelian atau pembangunannya oleh SKK Migas dari PT Arun LNG dan Exxon Mobil.

Daftar aset bekas dari kedua perusahaan tersebut yang telah (atau belum) diserahkan ke BPMA.

Alasan tidak dilakukannya revisi kontrak kerja sama migas antara SKK Migas dan PT Pertamina EP setelah terbitnya PP 23/2015, terutama terkait wilayah eksplorasi di NAD-1, NAD-2, East Aceh, dan Perlak.

Menanggapi klaim informasi dikecualikan dari SKK Migas, KIP memutuskan perkara akan dilanjutkan ke tahap ajudikasi dengan pembuktian pada sidang selanjutnya.

“Kami akan meminta SKK Migas membuktikan bahwa informasi tersebut memang layak dikecualikan, sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik,” tegas Aria Sandi Yuda, salah satu komisioner.

Safaruddin, dalam keterangannya, menegaskan bahwa rakyat Aceh berhak tahu ke mana saja hasil dari pengelolaan aset migas digunakan. 

Ia menyarankan agar hasilnya dapat diarahkan untuk pembangunan fasilitas publik yang nyata dan mendesak, seperti penuntasan Jalan Tol Banda Aceh “ Medan, waduk dan irigasi untuk ketahanan pangan, perbaikan fasilitas kesehatan dan pendidikan dan inastruktur jalan dan transportasi di daerah-daerah penghasil migas.

“Kalau tidak transparan, bagaimana kita bisa yakin aset itu dipakai untuk rakyat? Apakah hasilnya benar masuk ke Aceh? Jangan sampai aset yang lahir dari bumi Aceh, justru dipakai untuk membangun tempat lain,” kata Safar.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI