Sabtu, 25 Oktober 2025
Beranda / Politik dan Hukum / FISIP UIN Ar-Raniry Kupas Isu Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam KUHP Baru

FISIP UIN Ar-Raniry Kupas Isu Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam KUHP Baru

Jum`at, 24 Oktober 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry Banda Aceh menggelar Seminar Nasional di Aula Lantai 3 Gedung Pascasarjana, Jumat (24/10). Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry Banda Aceh menggelar Seminar Nasional di Aula Lantai 3 Gedung Pascasarjana, Jumat (24/10). 

Kegiatan ini membahas kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam konteks berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.

Seminar menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu Hakim Konstitusi Republik Indonesia Dr Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Aroma Elmina Martha, serta Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala periode 2021-2024 Dr M Gaussyah. Acara dipandu oleh Dr Delfi Suganda SH LLM dan dibuka langsung oleh Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Dr Mujiburrahman MAg.

Dalam sambutannya, Rektor Mujiburrahman menilai isu kriminalisasi dan dekriminalisasi sering kali disalahpahami masyarakat sebagai bentuk ketidakpastian hukum. Padahal, bagi kalangan akademisi hukum, kedua konsep itu merupakan bagian penting dari upaya pembaruan hukum nasional agar lebih berkeadilan dan kontekstual dengan perkembangan sosial.

“Tanpa proses kriminalisasi dan dekriminalisasi yang tepat, banyak peraturan hukum bisa menjadi tidak humanis dan tidak adil,” ujar Mujiburrahman.

Ia mencontohkan persoalan ganja di Aceh yang secara historis digunakan masyarakat sebagai bumbu masakan, namun dalam sistem hukum modern dikategorikan sebagai zat terlarang.

“Ketika saya ke Jerman, ganja sudah dilegalkan untuk medis dan punya nilai ekonomi tinggi. Pertanyaannya, apakah hukum nasional kita memungkinkan dekriminalisasi untuk tujuan medis dan ekonomi masyarakat?” katanya.

Mujiburrahman juga menyoroti banyaknya anak muda Aceh yang terjerat kasus ganja. Menurutnya, kebijakan hukum pidana perlu mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan kearifan lokal agar penegakannya tidak menimbulkan dampak sosial baru.

“Harapan saya, melalui seminar ini lahir gagasan-gagasan segar dalam pengembangan hukum nasional yang humanis dan sesuai nilai bangsa,” tambahnya.

Dalam paparannya, Hakim Konstitusi Dr. Daniel Yusmic menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki kewenangan membentuk norma pidana baru.

“MK berfungsi sebagai negative legislator, bukan positive legislator. MK tidak membuat norma, melainkan menguji agar undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi,” tegas Daniel.

Menurutnya, permohonan yang meminta MK melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi suatu perbuatan tidak termasuk ranah kewenangan konstitusional.“Itu bagian dari politik hukum pidana, bukan peradilan konstitusi,” tambahnya.

Senada, Dr Aroma Elmina Martha menyebut bahwa permohonan untuk mengubah status hukum suatu perbuatan bukan bagian dari uji konstitusionalitas. “MK menjaga prinsip pemisahan kekuasaan dan asas legalitas. Kebijakan pidana tetap ditentukan pembentuk undang-undang,” ujarnya.

Aroma Elmina juga menyinggung keberadaan Qanun Jinayat Aceh sebagai living law yang telah dilembagakan secara formal. Menurutnya, Qanun Jinayat memiliki potensi besar dalam pembangunan hukum nasional yang lebih inklusif.

“Pasal 2 dan 3 KUHP baru mengakui hukum yang hidup di masyarakat. Ini bisa menjadi dasar penguatan sinergi antara Qanun Jinayat dan KUHP nasional,” jelasnya.

Sementara itu, Dr M Gaussyah menekankan pentingnya pendekatan pencegahan berbasis kearifan lokal dalam penegakan hukum pidana.

“Norma sosial seperti rasa malu dan tanggung jawab kolektif adalah benteng moral pertama sebelum hukum bekerja,” katanya.

Ia juga menawarkan empat model sinkronisasi hukum pidana yakni Koordinatif harmonisasi antara pusat dan daerah, Rekognitif pengakuan nilai-nilai lokal sebagai sumber hukum, Integratif penerapan restorative justice dan Edukatif pendidikan hukum berbasis nilai lokal dan maqasid syariah.

Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Dr Muji Mulia, menilai seminar ini relevan dengan tantangan penegakan hukum modern di Indonesia.

“Persoalan kriminalisasi dan dekriminalisasi bukan sekadar ranah pidana, tapi juga berkaitan dengan nilai sosial, moral, dan politik hukum,” ujarnya.

Ia berharap kegiatan ini menjadi wadah bagi akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan untuk membangun pemahaman bersama dalam menyusun kebijakan hukum yang lebih kontekstual dan berpihak pada keadilan sosial.

Seminar yang dihadiri sivitas akademika, mahasiswa, serta praktisi hukum ini menegaskan pentingnya sinkronisasi antara hukum nasional dan lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). []

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI