Fakta Nyata Pasca Pemilu 2024, Evaluasi dari Ahli Kepemiluan
Font: Ukuran: - +
Munawarsyah, mantan Komisioner KIP Aceh sekaligus Ahli Kepemiluan. Foto: net
DIALEKSIS.COM | Aceh - Proses rekapitulasi nasional pemilu serentak 2024 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih dalam jalur penuh hingga tanggal 20 Maret mendatang. Namun, sorotan tajam kembali terarah pada realitas yang di lapangan, yang menunjukkan ketidakmampuan dalam menghasilkan pemilu yang adil, berintegritas, dan demokratis.
Munawarsyah, mantan Komisioner KIP Aceh sekaligus Ahli Kepemiluan, menyoroti kondisi tersebut melalui tulisannya di laman Facebook pribadinya Dialeksis.com (18/03/2024) kutip, sehingga turun jadi berita.
Ia mengekspos bahwa pemilu telah beralih dari kontestasi politik menjadi arena uji logistik, yang kerap diidentifikasi sebagai "siraman amplop". Dalam konteks ini, praktik ‘mark up’ suara menjadi hal yang sangat meresahkan, dilakukan oleh oknum-oknum penyelenggara pemilu.
Menurut Munawarsyah, pengalaman para calon legislatif yang berhasil maupun tidak berhasil terpilih menunjukkan bahwa hampir tak ada yang terlepas dari penggunaan "siraman amplop". Bahkan, praktik ini menjadi lumrah selama tiga hari menjelang masa tenang, di mana para makelar amplop aktif mengejar pemilih dengan tarif berbeda-beda sesuai level pemilihan.
“Meskipun informasi mengenai politik uang tersebar luas di media sosial, sulit untuk menemukan bukti konkret terkait hal ini,” tegasnya
Ia melanjutkan pembahasan evaluasi Pemilu 2024, tidak hanya pemilih, tetapi juga aparatur desa menjadi sasaran praktik ini, menjamin target suara di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) di wilayahnya.
“Bahkan, penyelewengan suara bisa merambah hingga ke tingkat penyelenggara adhoc seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Penyelenggara Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK),” rincinya.
Munawarsyah juga menyoroti kecenderungan sistem pemilu proporsional terbuka dalam memunculkan praktik "brutalisme kompetisi" logistik amplop.
Menurutnya, sistem ini mendorong para calon legislatif untuk terlibat dalam praktik "amplopisme" demi mengumpulkan suara, bahkan dengan cara saling memindahkan suara antar sesama caleg di internal partai.
Terkait hal ini, Munawarsyah mempertanyakan keabsahan mekanisme rekapitulasi perolehan suara oleh penyelenggara pemilu, yang seharusnya menjadi jaminan keaslian hasil pemungutan suara. Namun, dalam prakteknya, proses ini justru menjadi celah untuk manipulasi dan penyelewengan suara.
Kondisi ini menurut Munawarsyah menunjukkan bahwa tujuan dasar dari sistem pemilu proporsional terbuka dalam membangun akuntabilitas politik wakil rakyat dan memperbaiki rekrutmen politik semakin terhambat. Dengan adanya fenomena yang demikian, prospek Pilkada pada November 2024 pun dipertanyakan, apakah akan menghadapi realitas serupa.
Dalam kesimpulan tulisannya, Munawarsyah menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi yang mencekam dan menyedihkan ini, mempertanyakan keberhasilan sistem pemilu yang seharusnya menjadi pilar demokrasi yang kuat dan adil.