kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Di Balik Kontroversi: Apakah Bustami Layak Jadi Gubernur Aceh?

Di Balik Kontroversi: Apakah Bustami Layak Jadi Gubernur Aceh?

Jum`at, 13 September 2024 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Direktur Eksekutif Forbina Aceh, Muhammad Nur S.H. [Foto: For Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Direktur Eksekutif Forum Pemerhati Investasi dan Politik Sumber Daya Alam (Forbina) Aceh, Muhammad Nur S.H., menilai Bustami tidak layak menjadi Gubernur Aceh. Penilaian ini, menurutnya, didasarkan pada "fakta berjalan" dari gaya kepemimpinan Bustami selama menjabat sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Aceh.

"Bustami membuat Aceh gaduh dengan agenda balas dendam, seolah-olah berkuasa seperti kerajaan kecil di sebuah daerah," ujar Muhammad Nur kepada Dialeksis.com, Jumat (13/9/2024).

Muhammad Nur menyoroti kecenderungan Bustami yang dinilai memihak salah satu pasangan calon gubernur dalam kontestasi politik Aceh. 

"Kami menilai kurang layak ketika gaya Bustami sebagai puncak pimpinan Aceh menggunakan gaya balas dendam dengan alasan bukan kubunya saat Pilkada," tegasnya.

Lebih lanjut, Muhammad Nur mengkhawatirkan dampak gaya kepemimpinan tersebut terhadap iklim investasi di Aceh. "Risikonya, bisa jadi kepala dinas atas perintah Bustami akan menolak kerja sama dengan investor yang dibawa oleh kubu lain," jelasnya.

Dia mencontohkan kasus rotasi dan pemecatan sejumlah pejabat dalam waktu singkat tanpa prosedur penilaian yang jelas. "Kondisi ini terbaca saat duduk sebagai Pj. Dalam usia singkat, orang dibuang seketika tanpa ada SOP penilaian sesuai adab dan etika," ungkapnya.

Muhammad Nur juga mengkritisi strategi Bustami dalam pencalonan wakil gubernur. "Gaya pencalonan wagub yang memaksa harus dengan ulama menunjukkan dirinya tidak dikenal pemilih. Ini hanya agenda pencitraan semata," katanya.

Menurut Muhammad Nur, sikap Bustami yang melawan partai pengusungnya sebagai Pj Gubernur dan kemudian mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh menunjukkan ambisi pribadi yang berlebihan. 

"Ini salah satu bukti beliau ingin jadi raja beneran tanpa harus minta izin ke pemerintah pusat dalam urusan menghancurkan karier orang di daerah," tegasnya.

Muhammad Nur menekankan bahwa gaya kepemimpinan seperti ini tidak mendukung pembangunan Aceh. 

"Ini bukan membangun peradaban tapi sebaliknya. Dunia investasi sebagai modal pembangunan hanya bisa ditandatangani oleh Bustami ketika dibawa oleh kolega politiknya saja," tambahnya.

Sebagai penutup, Muhammad Nur menegaskan bahwa gaya kepemimpinan yang penuh dendam dan bergaya kerajaan tidak sesuai dengan sistem demokrasi. 

"Ini soal gaya sosok calon gubernur Aceh yang namanya Bustami. Maka dari itu tak layak jika gaya dendam dan gaya kerajaan dijalankan karena ini negara demokrasi, bukan negara komunisme," pungkasnya. [arn]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda