DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dugaan hilangnya bantuan kemanusiaan sebanyak 80 ton untuk korban bencana di Kabupaten Bener Meriah memantik kegelisahan publik dan menuai reaksi keras dari berbagai kalangan.
Bantuan yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat terdampak bencana tersebut kini dipertanyakan keberadaannya, memunculkan dugaan adanya penyimpangan serius dalam proses distribusi.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa bantuan logistik berupa bahan pokok dan kebutuhan darurat itu tidak sepenuhnya sampai ke tangan warga yang membutuhkan. Kondisi ini dinilai mencederai rasa keadilan dan melukai nilai kemanusiaan, terlebih Aceh dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi syariat Islam dan solidaritas sosial.
Menanggapi isu tersebut, tokoh Aceh sekaligus mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPP RI), Dr. Ahmad Farhan Hamid, MS, menyampaikan respon keras dan tegas. Ia menilai dugaan pengambilan bantuan bencana bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan kejahatan moral dan pidana berat.
“Jika benar dugaan ada pengambilan atau perampokan bantuan bencana untuk masyarakat Bener Meriah, maka saya usulkan dicari dan dibuktikan pelakunya. Ini bukan persoalan kecil. Ini menyangkut hak rakyat, hak korban bencana, dan nilai kemanusiaan,” tegas Ahmad Farhan saat menyampaikan kepada Dialeksis.
Menurutnya, bantuan bencana adalah amanah suci yang tidak boleh disentuh oleh kepentingan apa pun. Ketika bantuan tersebut dirampas, maka pelakunya bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menzalimi rakyat dalam kondisi paling lemah.
“Dalam perspektif Islam, mengambil harta yang bukan haknya, apalagi bantuan untuk korban bencana, adalah bentuk perampokan. Jika terbukti, maka hukum Islam harus ditegakkan, yakni potong tangan, sebagaimana ketentuan syariat,” ujarnya dengan nada tegas.
Ahmad Farhan juga menyinggung aspek regulasi. Ia menilai Aceh memiliki kewenangan khusus untuk menegakkan syariat Islam secara lebih komprehensif, termasuk dalam kasus kejahatan luar biasa seperti penjarahan bantuan kemanusiaan.
“Jika saat ini Qanun yang mengatur secara spesifik belum ada, maka Mualem (Gubernur Aceh) dapat dan harus mengambil langkah cepat dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Aceh. Jangan biarkan celah hukum dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bermoral,” katanya.
Lebih jauh, Ahmad Farhan mengingatkan bahwa pembiaran terhadap kasus semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola bantuan bencana di Aceh ke depan.
“Kalau ini dibiarkan, maka kepercayaan publik akan hancur. Rakyat akan bertanya: ke mana perginya bantuan yang dikirim atas nama kemanusiaan? Aceh tidak boleh dikenal sebagai daerah yang gagal menjaga amanah,” tambahnya.
Ia juga mendesak aparat penegak hukum dan lembaga pengawas untuk segera melakukan investigasi terbuka dan transparan, serta memastikan proses hukum berjalan tanpa pandang bulu.
“Siapa pun pelakunya, apakah pejabat, oknum aparat, atau pihak lain, harus bertanggung jawab. Jangan ada perlindungan, jangan ada kompromi,” pungkas Ahmad Farhan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak berwenang belum memberikan keterangan resmi terkait hasil penelusuran keberadaan bantuan 80 ton tersebut.
Masyarakat Bener Meriah dan publik Aceh kini menunggu langkah nyata pemerintah dan aparat hukum untuk mengungkap kebenaran di balik dugaan hilangnya bantuan kemanusiaan itu.