Awie Barsela: Mualem, Tokoh Sentral yang Menjaga Nilai Tawar Aceh di Mata Pusat
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Muhammad Fawazul Alwy, yang akrab disapa Awie Barsela, selaku Founder Aceh Sumatra Youth Movement (ASYM). [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Muhammad Fawazul Alwy, yang akrab disapa Awie Barsela, selaku Founder Aceh Sumatra Youth Movement (ASYM), berbicara secara mendalam mengenai peran strategis Mualem, atau Muzakir Manaf, dalam menjaga posisi tawar Aceh terhadap pemerintah pusat.
Sebagai mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan saat ini sebagainKetua Umum DPP Partai Aceh, Mualem menjadi salah satu tokoh yang dianggap sangat berpengaruh dalam kancah politik Aceh pasca perjanjian damai Helsinki.
Menurut Awie, Mualem merupakan figur yang memiliki kapasitas kekuatan luar biasa, baik di tingkat lokal maupun nasional.
“Setuju atau tidak, di Aceh saat ini hanya ada dua orang yang paling disegani oleh pemerintah pusat, yaitu Wali Nanggroe, Malik Mahmud, dan Mualem. Mualem bukan hanya dihormati di Aceh, tetapi juga diperhitungkan oleh pusat karena pengaruhnya yang masih kuat terhadap kombatan-kombatan GAM dan para pendukungnya,” ujar Awie kepada Dialeksis.com, Rabu, 16 Oktober 2024.
Awie menjelaskan bahwa pusat selalu memantau apa yang disampaikan oleh Mualem, karena sosoknya sebagai mantan Panglima GAM.
"Pusat selalu waspada terhadap pernyataan yang keluar dari mulut Mualem, karena beliau mampu menggiring suara dari eks kombatan dan simpatisan GAM. Hal ini menjadi alasan utama kenapa nilai tawar Aceh di mata pusat sangat tinggi di tangan Mualem,” tambah Awie.
Tidak hanya itu, Awie juga mengungkapkan bahwa relasi antara Mualem dan beberapa petinggi nasional memperkuat posisinya dalam dunia politik.
Jika Mualem terpilih sebagai Gubernur Aceh, menurut Awie, posisi Aceh di kancah nasional akan semakin kuat.
"Nilai tawar Aceh terhadap pusat akan tak ternilai jika Mualem menjadi Gubernur, mengingat kedekatan beliau dengan beberapa petinggi di pemerintahan pusat pasca perdamaian,” kata Awie.
Di tengah segala pengaruh dan kekuatan politik yang dimiliki, Mualem dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan sederhana.
“Mualem memang bukan seorang akademisi, cendekiawan, ataupun profesional, tetapi jangan anggap beliau bodoh. Mualem adalah orang yang cerdas dalam memahami situasi, terutama dalam politik dan perkembangan Aceh dari waktu ke waktu,” ungkap Awie.
Lebih lanjut, Awie menekankan bahwa meskipun Mualem tidak berasal dari latar belakang intelektual atau akademik, beliau selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mengerti dan ahli di bidangnya.
“Selama menjadi Wakil Gubernur, Mualem sering bertanya kepada bawahannya yang lebih profesional jika ada hal yang tidak ia pahami. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang terbuka terhadap ilmu dan mau belajar dari siapa saja yang lebih mengerti,” tambahnya.
Di mata Awie, Mualem adalah satu-satunya tokoh politik di Aceh yang paling berani menuntut hak-hak Aceh sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA).
"Meskipun belum semua poin MoU dan UU PA terealisasi, banyak yang sudah dicapai berkat perjuangan Mualem dan Partai Aceh. Sayangnya, sejak 2017, nilai dan daya tawar Aceh terhadap pusat mulai melemah setelah pergantian kekuasaan," ungkap Awie.
Awie juga menyoroti bahwa setelah Mualem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan, perhatian pusat terhadap MoU Helsinki dan UU PA semakin berkurang.
"Pemerintah pasca Zikir (Zaini Abdullah-Muzakir Manaf) terkesan lemah, bahkan seolah disepelekan oleh pusat. Ini menjadi tantangan besar bagi Aceh dalam menuntut hak-haknya," tambahnya.
Menurut Awie, Mualem tetap konsisten dalam memperjuangkan penyelesaian butir-butir MoU Helsinki, UU PA, dana otonomi khusus (otsus), serta identitas daerah Aceh.
“Sepanjang menjadi Ketua PA, Mualem terus menyuarakan penyelesaian hak-hak Aceh yang belum terpenuhi, terutama terkait otsus dan simbol-simbol daerah. Ini adalah komitmen beliau yang tidak pernah berubah,” tegasnya.
Awie melihat bahwa peran Mualem masih sangat dibutuhkan untuk masa depan Aceh, terutama dalam menjaga nilai tawar Aceh di mata pusat.
"Jika Mualem kembali memegang kekuasaan di pemerintahan, saya yakin Aceh akan kembali memiliki daya tawar yang tinggi di mata pusat. Beliau adalah sosok yang mampu memperjuangkan kepentingan Aceh tanpa takut melawan arus," kata Awie.
Dengan segala pengaruh dan perannya yang masih kuat, Mualem tetap menjadi tokoh sentral yang diandalkan oleh masyarakat Aceh, terutama dalam menjaga hak-hak dan kekhususan Aceh.
"Aceh membutuhkan sosok seperti Mualem yang berani menuntut hak dan tidak segan berhadapan dengan pusat demi kepentingan rakyat Aceh," tutup Awie. [nh]