Beranda / Politik dan Hukum / Aktivis IMADA: Ulama Harus Terlibat dalam Politik Aceh

Aktivis IMADA: Ulama Harus Terlibat dalam Politik Aceh

Selasa, 03 September 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Furqan Fiqri, Ketua Humas Ikatan Mahasiswa Alumni Dayah Aceh (IMADA).[Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Nama Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang kontroversial, terus menggema dalam sejarah dan pemikiran politik Aceh hingga hari ini. 

Pemikirannya yang memisahkan agama dan politik, serta meragukan peran ulama dalam politik praktis, masih berakar kuat di sebagian masyarakat Aceh, terutama di saat menjelang Pemilu. 

Gagasan ini seringkali digunakan sebagai dalih oleh sebagian elit dan masyarakat untuk menyerukan agar ulama tidak terlibat dalam politik, demi menjaga kesucian mereka.

Namun, apakah pemisahan ini sejalan dengan sejarah Islam dan ajaran Rasulullah SAW? Seperti yang ditegaskan oleh Furqan Fiqri, Ketua Humas Ikatan Mahasiswa Alumni Dayah Aceh (IMADA), pemikiran ini sebenarnya adalah warisan kolonial yang bertentangan dengan prinsip siasah syar’iyyah. 

Menurutnya, ulama adalah pewaris Nabi, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam memimpin umat, baik dalam urusan agama maupun dunia, adalah hal yang sangat wajar.

"Jika kita melihat sejarah Islam, Rasulullah SAW bukan hanya pemimpin agama, tetapi juga pemimpin negara. Beliau mengatur urusan dunia dan akhirat umat Islam. Jadi, sangat keliru jika kita mengatakan bahwa ulama tidak pantas terjun dalam politik," ujar Furqan Fiqri kepada Dialeksis.com, Selasa (3/9/2024).

Pemikiran Furqan ini sejalan dengan pandangan klasik dalam literatur Islam. Kitab Raudhatut Thalibin karya Imam Nawawi, misalnya, menegaskan bahwa seorang pemimpin idealnya adalah seorang mujtahid atau ulama yang mampu memahami hukum agama dengan baik. 

Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, peran ulama tidak hanya terbatas pada masalah ibadah semata, tetapi juga mencakup kepemimpinan politik.

"Saya melihat adanya upaya untuk memelihara warisan Snouck Hurgronje di kalangan tertentu, terutama yang menginginkan pemisahan peran ulama dari politik. Padahal, ini bertentangan dengan prinsip siasah syar’iyyah yang menempatkan ulama sebagai pengawal kebijakan publik, agar tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam dan menjaga kemaslahatan umat," tegas Furqan.

Pemisahan antara ulama dan politik, menurut Furqan, adalah bagian dari strategi kolonial untuk melemahkan kekuatan Islam di Aceh. 

Snouck Hurgronje, yang pernah tinggal di Aceh dan mendalami kebudayaan serta agama Islam, menyadari betul pengaruh besar ulama dalam masyarakat Aceh. 

Oleh karena itu, dia berusaha memisahkan ulama dari politik agar Islam tidak menjadi kekuatan yang mampu melawan kolonialisme.

Sayangnya, pemikiran ini masih bertahan hingga sekarang, dan digunakan oleh beberapa pihak yang ingin mempertahankan status quo.

 Mereka berpendapat bahwa ulama sebaiknya hanya berperan sebagai penasihat, bukan sebagai aktor utama dalam percaturan politik. 

Namun, Furqan Fiqri berpendapat bahwa ini adalah pemikiran yang keliru dan harus segera diubah.

"Kita harus menyadari bahwa ulama memiliki peran penting dalam politik, terutama dalam mengawal kebijakan publik agar tetap berada di jalur yang benar. Dengan demikian, ulama dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tetap memperjuangkan kemaslahatan umat," jelas Furqan.

Menurutnya, sudah saatnya masyarakat Aceh melepaskan belenggu pemikiran kolonial yang diwariskan oleh Snouck Hurgronje. 

Aceh, sebagai daerah yang memiliki sejarah panjang dalam penerapan hukum Islam, seharusnya menjadi contoh bagaimana peran ulama dalam politik dapat memperkuat tatanan masyarakat yang adil dan bermartabat.

Dengan pemulihan peran ulama dalam politik, Furqan berharap Aceh dapat kembali menjadi daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan kebijakan publik. 

Pemikiran Snouck Hurgronje, menurutnya, harus dilawan, dan ulama harus kembali ditempatkan sebagai pilar utama dalam membangun masyarakat Aceh yang sejahtera dan bermartabat.

"Kita harus kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya, yang tidak memisahkan antara agama dan politik. Ulama harus diberi ruang yang lebih besar untuk terlibat dalam politik, bukan hanya sebagai penasihat, tetapi juga sebagai pemimpin yang mampu membawa Aceh menuju masa depan yang lebih baik," pungkas Furqan Fiqri.[nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI