Ahli Kepemiluan Bicara Uniknya Proses Penetapan dan Pelantikan Kepala Daerah Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Zainal Abidin, S.H., M.Si., M.H. Foto: IST
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Zainal Abidin, S.H., M.Si., M.H., menyampaikan pandangan hukum terkait proses penetapan pasangan calon (paslon) terpilih dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur (Gub/Wagub) serta Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Aceh.
Menurutnya, tidak adanya pengajuan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para peserta pemilu menunjukkan kelancaran proses demokrasi di Aceh.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2014, penetapan paslon terpilih dapat dilakukan paling lama tiga hari setelah MK memberitahukan kepada KPU tentang permohonan sengketa hasil yang teregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
“Informasi dari KPU menyebutkan bahwa batas waktu pemberitahuan MK adalah pada tanggal 3 Januari 2025. Dengan demikian, di atas tanggal tersebut, penetapan dan pelantikan paslon terpilih sudah dapat dilakukan,” ujar Dr. Zainal kepada Dialeksis saat dihubungi, Sabtu (21/12/2024).
Dr. Zainal menegaskan bahwa pelantikan Gub/Wagub Aceh hasil Pilkada 2024 harus dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pelantikan ini wajib dilakukan di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
“Ketentuan ini menjadi keunikan Aceh, di mana pelantikan Gub/Wagub tidak dapat dilakukan di luar gedung DPRA kecuali dalam kondisi kahar (force majeure). Jika pelaksanaan dilakukan di luar gedung DPRA, tempat tersebut harus memenuhi kriteria layak menurut Qanun, sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (4) UUPA,” jelas Dr. Zainal.
Alasan hukum yang rasional menurut Dr Zainal harus dapat diberikan/dijelaskan jika tempat pelantikan dipindahkan dari gedung DPRA. Hal ini hanya dapat diterima apabila gedung atau lingkungan DPRA tidak memungkinkan atau tidak layak digunakan. Dengan demikian, pelantikan Gub/Wagub Aceh akan tetap berlandaskan pada aturan yang berlaku dan mencerminkan kekhasan sistem pemerintahan di Aceh.
Selain itu menurut dirinya, pelantikan Gub/Wagub Aceh tidak dapat dilaksanakan secara serentak nasional bersama daerah lain. Hal ini disebabkan oleh kewajiban pelantikan yang harus dilakukan sesuai mekanisme UUPA, berbeda halnya dengan provinsi lain di Indonesia mekanisme pelantikannya diatur dalam regulasi nasional
Dr. Zainal menambahkan bahwa pengaturan khusus ini mencerminkan otonomi Aceh dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan aturan hukum yang telah ditetapkan.
“Pelantikan ini adalah cerminan tradisi hukum lokal yang tetap menghormati prinsip-prinsip hukum nasional,” pungkasnya.