Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Anak-Anak Dalam Lintasan Konflik

Anak-Anak Dalam Lintasan Konflik

Selasa, 04 Mei 2021 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: Nick Ut, 1972 / The Associated Press]


Saddam Husein layaknya anak-anak seumurannya, ingin tahu terhadap kerumunan orang yang menyemut di Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh), Krueng Geukueh, Aceh Utara. Ditengah teriknya matahari, siang durjana itu berubah menjadi hari yang muram bagi masyarakat Aceh. Puluhan meninggal ditempat, ratusan luka berat. Saddam, seperti yang dapat dilihat di foto atau video liputan berita, wafat dalam kondisi menggenaskan dengan tubuh penuh peluru. 

Saddam yang saat itu berusia tujuh tahun adalah salah satu korban insiden pada Senin 3 Mei 1999. Ketika itu ia sedang membantu ibunya berjualan pisang goreng. Ia belum memahami apa yang tengah terjadi di Aceh, yang sedang mengalami konflik vertikal paling lama dan berdarah di Indonesia. Politik dan perang masih belum bisa dicerna oleh pikiran kanak-kanaknya, yang masih penuh kegembiraan. 

Ada banyak kisah epik tentang anak-anak dalam lintasan konflik. Tentu cerita yang tidak mudah diutarakan, cukup untuk memeras air mata. Kekerasan dalam konflik bersenjata selalu memangsa pihak paling lemah, yakni kaum perempuan dan anak. Walaupun menyedihkan, ada beberapa memoar anak korban keganasan konflik yang dapat menjadi inspirasi. Terutama bagi generasi konflik Aceh yang sekarang memasuki usia produktif. 

Kim Phuc (lahir tahun 1963) adalah subjek dalam sebuah foto terkenal dari Perang Vietnam. Perang melawan kekuatan militer Amerika Serikat yang berlangsung antara tahun 1954-1975. Foto itu menunjukkan Kim Phuc berumur sembilan tanpa mengenakan pakaian, menangis sambil berlarian di tengah jalan setelah terkena luka bakar parah akibat serangan bom napalm. 

Foto tersebut diabadikan oleh fotografer bernama Nick Ut. Ia kemudian memperoleh hadiah Pulitzer untuk hasil fotografi penuh makna yang diambilnya. Foto Kim Phuc berlarian tanpa berpakaian dengan latar belakang yang mengerikan, menjadi representasi jika perang merengut kebahagiaan dan kecerian masa kanak. Sekaligus menciptakan trauma yang mendalam bagi mereka. 

Kim Phuc dijadikan simbol anti perang oleh Pemerintah Vietnam, dan tahun 1986 ia melanjutkan studi ke Kuba. Pada tanggal 1997, Kim PhĂșc diangkat menjadi UNESCO Goodwill Ambassador, atas peran aktifnya dalam membantu anak-anak korban perang diseluruh dunia. 

Kemudian siapa yang tidak kenal dengan Malala Yousafzai, gadis asal Pakistan yang dihujani peluru pada kepalanya oleh seorang penembak Taliban, 9 Oktober 2012. Saat ditembak, ia masih berusia 15 tahun. Malala sebelumnya gencar menyuarakan hak-hak anak perempuan untuk mengenyam pendidikan. Menentang budaya patriarki konservatif yang berkembang didaerahnya. 

Alasan penembak menghabisi Malala, ada unsur politis. Orang-orang tua bersenjata itu takut kepada seruan gadis remaja yang mengecam perang menggangu kehidupan sekolah bagi anak-anak, terutama anak perempuan. Malala merupakan simbol anti perang, karena mengorbankan hak pendidikan yang menjadi unsur yang pertama kali hilang dalam konflik bersenjata. Ia meraih Nobel Perdamaian tahun 2014, karena konsisten serta semakin giat dalam menyuarakan hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan di seluruh dunia. 

Mungkin Saddam Husein tidak seberuntung Kim Phuc atau Malala Yousafzai, masih bisa bertahan nyawanya lalu menjadi inspirasi hidup paska perang. Namun kisah Saddam Husein harus menjadi iktibar bagi kita dan Aceh, bagaimana tragisnya kekerasan bersenjata dalam kehidupan kanak-kanak. 

Saddam adalah salah satu dari sekian banyak dalam daftar korban anak-anak yang wafat saat konflik terjadi di Aceh. Belum lagi mereka yang menderita trauma mendalam sehingga mempengaruhi mental. Pada saat Aceh masih konflik, sekolah-sekolah dibakar dan diliburkan, aktivitas belajar tidak berjalan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya ikut orang tua mereka mengungsi ke tempat lebih aman. 

Menghabiskan masa kecil dengan lingkungan penuh kekerasan yang lazim pada daerah konflik sungguh tidak menyenangkan. Kilas balik pada masa itu, menyimpulkan kita terhadap keinginan untuk bangkit dari segala keterpurukan pengalaman masa kecil buruk yang pernah kita alami. Momentum kebangkitan bagi anak-anak menjadi lebih baik lagi. 

Perhatian terhadap kalangan anak-anak sebagai salah satu golongan paling dirugikan oleh konflik, harus jadi pilar utama pembangunan era damai. Biarlah kisah hidup dan tragedi Saddam Husein cilik menjadi pemantik semangat bagi generasi konflik Aceh, untuk merdeka dari kebodohan dan kemiskinan. Layaknya pidato berapi-api Malala atau narasi kebangkitan Kim Phuc. Harus menjelma menjadi asa dan keberanian para pemimpin Aceh, melahirkan kebijakan kongkrit mempersiapkan generasi muda penerus berkualitas. 

Serta paling utama, apapun yang sedang dipikirkan pemangku kekuasaan level tertinggi. Jangan sesekali tergoda melahirkan (proyek) konflik bersenjata baru, dengan alasan apapun. Karena selalu yang paling menderita atas terjadi konflik yang terjadi, ialah mereka yang tidak bersalah. Entah mengapa orang-orang dewasa senang sekali menciptakan konflik dan kekerasan yang merenggut kehidupan masa kanak-kanak yang seharusnya dilewati dengan ceria penuh warna. Penuh canda tawa. Penuh suka.

Iqbal Ahmady M Daud (Pengajar Ilmu Politik FISIP USK)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda