Kitab Kuno Aceh Abad 18 Bahas Tentang Waktu Gempa NTB dan Tsunami Aceh
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pasca dilanda gempa berkekuatan 7,0 Skala Richter (SR) sekitar pukul 18.46 WIB, pada Minggu (5/8/2018), lalu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih mengalami guncangan dari gempa susulan.
Dampak dari gempa tersebut mengakibatkan sejumlah infrastruktur serta rumah warga mengalami kerusakan.
Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal yang terdata mencapai 387 orang, luka-luka 13.688 orang, dan warga mengungsi sebanyak 387.067 jiwa tersebar di ribuan titik
Peristiwa ini menjadi salah satu bencana alam berupa gempa bumi terbesar dan banyak memakan korban yang dialami oleh Indonesia.
Berbicara tentang gempa, sebuah kitab kuno di Aceh pernah menuliskan peristiwa alam tersebut. Bahkan, kitab yang sudah ada sejak abad ke-18 dan dipamerkan di Stan itu membahas tentang gempa berdasarkan waktu kejadian.
Gempa di NTB terjadi pada Minggu, 5 Agustus 2018 atau 23 Dzulkaidah 1439 H, sekitar pukul 18.46 WIB. Bisa diutarakan bahwa gempa terjadi sewaktu Maghrib.
"Jika pada Bulan Dzulkaidah gempa ketika magrib alamat orang kaya banyak mati," ungkap Istiqamatunnisaq saat membaca kitab yang dibuat tahun 1725 tersebut.
Maksud dari kalimat itu adalah, akan banyak orang yang meninggal akibat gempa.
Istiqamatunnisaq juga membacakan gempa yang terjadi di waktu-waktu lainnya. Bahkan, gempa dengan disusul Tsunami yang terjadi di Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam dalam waktu Dhuha (pagi) juga tertera di kitab tersebut.
"Jika pada Bulan Dzulkaidah gempa, pada ketika Subuh alamat segala buah-buahan menjadi dalam pohon itu. Jika pada ketika Dhuha alamat bala akan datang kepadanya Tsunami. Jika ketika Zuhur alamat hujan sangat akan datang kepadanya. Jika ketika Ashar alamat baik negeri itu padanya. Jika pada jika pada ketika magrib alamat orang kaya banyak mati. Jika pada Isya alamat orang yang dari jauh akan datang ke negeri itu padanya," bacanya.
"Bab jika pada bulan Dzulhijjah lembu-lembu banyak, bermula air kurang pada tahun itu. Bermula jikalau pada malamnya gempa alamat orang banyak sakit adanya pada tahun itu," baca Istiqamatunnisaq lagi.
Sementara itu, kolektor manuskrip kuno sekaligus pemilik kitab, Tarmizi A Hamid, mengatakan, Indonesia memang daerah yang rawan akan gempa.
"Ulama dulu menulis manuskrip Aceh sesuai dengan peristiwa, jadi dengan adanya manuskrip gempa yang begitu lengkap, begitu detil, berarti negara kita ini dikepung oleh bencana atau rentan dengan bencana," kata Tarmizi atau dikenal dengan Cek Midi.
Mengenai siapa penulisnya, ia tidak mengetahuinya, namun dapat dipastikan bahwa kitab itu ditulis oleh para ulama dan pemikir sufi sekitar abad ke-18. Hal itu berdasarkan watermark yang ada pada kertas.
Meskipun demikian, dia kembali menegaskan bahwa alam Indonesia memang rawan bencana. Dia menambahkan tidak mungkin orang dahulu menulis kitab tersebut jika tidak ada peristiwa yang terjadi selain untuk dipelajari.
"Dengan adanya catatan dari manuskrip ini baru kita tahu bahwasanya Indonesia ini memang rentan atau sangat dekat dengan bencana," jelas Cek Midi.
Saat ini kitab mengenai tentang gempa itu dipamerkan di salah satu stan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7, yakni Rumoh Manuskrip Aceh, yang ada di Museum Aceh, Banda Aceh. (adv)