Urgensi Sinkronisasi Keuangan Daerah Pasca Pilkada 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Dr. Syukriy Abdullah, S.E., M.Si., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Aceh - Transisi kepemimpinan pasca Pilkada 2024 membawa tantangan tersendiri dalam pengelolaan keuangan daerah. Penyesuaian dan keselarasan dalam prioritas dan kebijakan pembangunan menjadi kunci untuk menjembatani permasalahan dan penyelesaiannya pada periode peralihan menuju pemerintahan yang definitif sebagai hasil dari Pilkada.
Dr. Syukriy Abdullah, S.E., M.Si., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala yang juga penggiat dalam konsultansi dan pendidikan keuangan dan akuntansi pemerintahan nasional, memberikan penekanan tentang pentingnya sinkronisasi antara kebijakan nasional dan daerah dalam masa transisi ini.
"Pemimpin baru hasil Pilkada 2024 akan menghadapi realitas penganggaran yang prosesnya sudah berjalan sejak januari 2024. Tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan visi kepala daerah terpilih dengan program yang telah dicanangkan sebelumnya dalam masa kampanye dan dialog dengan publik," ujar Syukriy saat dihubungi Dialeksis.com, Jumat (18/10/2024).
Menurut Syukriy, ada beberapa aspek krusial yang perlu diperhatikan dalam proses transisi keuangan daerah. Pertama, kontinuitas program.
"Program yang sudah berjalan dan bermanfaat bagi masyarakat harus dilanjutkan, terlepas dari pergantian kepemimpinan," tegas Syukriy.
Aspek berikutnya adalah revisi anggaran. Menurutnya, "Pemimpin baru mungkin perlu melakukan revisi anggaran untuk mengakomodasi program prioritas mereka, namun harus tetap dalam koridor peraturan yang berlaku."
“Transparansi juga menjadi hal yang tak kalah penting. Proses transisi harus transparan untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah potensi penyalahgunaan anggaran," tambah Syukriy.
Terakhir, koordinasi pusat-daerah menjadi kunci keberhasilan transisi. Menurut Syukriy, "Diperlukan koordinasi yang intens antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan keselarasan kebijakan nasional dengan inisiatif lokal. Namun, kebijakan penggunaan transfer dari Pusat yang sebenarnya bersifat block grant, sudah ditentukan peruntukannya oleh Pusat, sehingga mengganggu fleksibilitas daerah."
Syukriy juga menegaskan bahwa masa transisi bukan berarti kevakuman kebijakan. "Justru ini adalah momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan keuangan daerah yang telah berlangsung selama ini," tambahnya.
Menurut Syukriy, “tantangan berikutnya adalah bagaimana meningkatkan penerimaan dari pendapatan asli daerah (PAD), sehingga ada tambahan penerimaan untuk membiayai Pembangunan daerah untuk menyelesaikan persoalan rakyat yang tidak ditentukan alokasi belanjanya oleh Pusat.”
Terkait potensi gesekan antara kebijakan lama dan baru, Syukriy menyarankan pendekatan bertahap. "Pemimpin baru sebaiknya tidak langsung melakukan perubahan drastis. Diperlukan kajian mendalam dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan," jelasnya.
Syukriy juga menyoroti peran DPRD dalam proses transisi ini. "DPRA harus proaktif dalam mengawal proses transisi, memastikan bahwa perubahan kebijakan tetap sejalan dengan aspirasi masyarakat dan aturan yang berlaku," ujarnya. “Anggota DPRA yang baru dan lama, semestinya memiliki semangat baru untuk bermitra secara lebih berintegritas dan akuntabel dengan kepala daerah, setidaknya untuk lima tahun ke depan,” lanjutnya.
Hal lain disampaikan Syukriy mengingatkan bahwa transisi keuangan daerah bukan sekadar masalah teknis. "Ini juga soal kepemimpinan dan manajemen perubahan. Pemimpin baru harus mampu mengelola ekspektasi publik sambil tetap menjaga stabilitas keuangan daerah," tuturnya.
"Pada akhirnya, kesuksesan transisi keuangan daerah akan tercermin dari minimalnya gejolak ekonomi dan maksimalnya manfaat yang dirasakan masyarakat," pungkas Syukriy.