kip lhok
Beranda / Pemerintahan / OJK, Pengawas Jasa Keuangan yang Kehilangan Taring

OJK, Pengawas Jasa Keuangan yang Kehilangan Taring

Selasa, 05 November 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Khairul Rijal, pemerhati keuangan dan pemerintahan. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023 memunculkan pertanyaan tentang efektivitas lembaga pengawas jasa keuangan tersebut. Status kelembagaan yang unik dan lemahnya bargaining position komisioner dinilai menjadi akar masalah.

"Ini sungguh mengherankan. OJK yang memiliki kewenangan besar dalam tata kelola jasa keuangan justru mendapat opini WDP dari BPK RI " kata Khairul Rijal, pemerhati keuangan dan pemerintahan, kepada Dialeksis.com, Selasa (5/11/2024).

Menurut Rijal, posisi OJK yang tidak berada di bawah Presiden namun juga tidak sepenuhnya independen seperti Bank Indonesia menciptakan anomali dalam sistem pengawasan. 

"OJK hanya diawasi oleh DPR melalui Komisi XI (Komisi Keuangan), tetapi memiliki kewenangan yang sangat besar dalam tata kelola jasa keuangan," ujarnya.

Sejarah pembentukan OJK bermula dari pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia pada 31 Desember 2013. Pengalihan ini didasarkan pada Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Meski proses seleksi komisioner OJK telah menerapkan standar tinggi dengan ketua panitia seleksi adalah Menteri Keuangan, Rijal melihat adanya kelemahan mendasar. 

"Para komisioner mungkin ahli di bidangnya, tetapi mereka tidak memiliki bargaining position yang kuat dalam konstelasi politik dan pemerintahan," jelasnya.

Kelemahan ini, lanjut Rijal, terlihat dari ketidakmampuan OJK mengatasi maraknya pinjaman online dan judi online ilegal. 

"Dibutuhkan komisioner bermental petarung dan bernyali tinggi, tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan profesional dan akademis," tegasnya.

Rijal mencontohkan kasus pencopotan Direktur Utama Bank Aceh secara sepihak oleh Pemegang Saham Pengendali (PSP) sebagai bukti ketidaktegasan OJK. 

"Ini menunjukkan lemahnya bargaining position OJK dalam menghadapi kepentingan politik lokal," katanya.

Sinergitas dengan instansi terkait dalam penanganan pengaduan masyarakat tentang pinjaman online, judi online, dan debt collector yang meresahkan juga dinilai lemah. 

"OJK terkesan terlena di menara gading, bersikap pasif dan permisif terhadap masalah yang berdampak langsung pada rakyat kecil," kritik Rijal. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda