Rabu, 10 September 2025
Beranda / Parlemen Kita / Revisi UUPA Tak Masuk Prolegnas, ACSTF: Ketua Forbes Aceh Harus Bertanggung Jawab

Revisi UUPA Tak Masuk Prolegnas, ACSTF: Ketua Forbes Aceh Harus Bertanggung Jawab

Rabu, 10 September 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Koordinator Program ACSTF, Nina Noviana. Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) menyampaikan kritik tajam setelah revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dipastikan tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Koordinator Program ACSTF, Nina Noviana, menegaskan bahwa Ketua Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh harus bertanggung jawab secara moral dan jabatan kepada seluruh masyarakat Aceh atas kondisi ini. ACSTF mendorong adanya evaluasi kinerja perwakilan Aceh di pusat serta langkah solutif agar revisi UUPA tetap dapat diperjuangkan demi kepentingan Aceh ke depan.

Dalam Rapat Paripurna DPR RI awal Masa Sidang 2024–2025, sebanyak 176 Rancangan Undang-Undang (RUU) telah disepakati masuk Prolegnas 2025 - 2029. Dari jumlah tersebut, hanya 41 RUU yang ditetapkan sebagai Prioritas Tahun 2025, dan revisi UUPA tidak termasuk di dalamnya.

Dengan kata lain, pembahasan RUU perubahan UUPA kemungkinan baru akan diprioritaskan pada tahun-tahun berikutnya, misalnya 2026. Hal ini mengecewakan banyak pihak di Aceh, mengingat revisi UUPA dinilai sangat krusial dan mendesak. Salah satu urgensi utamanya adalah memastikan kelanjutan Dana Otonomi Khusus Aceh yang masa berlakunya akan berakhir pada 2027 jika tidak diperpanjang. Selain itu, beberapa pasal dalam UUPA diketahui telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi atau tidak selaras dengan regulasi nasional, sehingga memerlukan penyesuaian melalui revisi UU.

Padahal, upaya memasukkan revisi UUPA ke agenda legislasi sudah dilakukan sejak periode sebelumnya. Rancangan revisi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut sebenarnya telah masuk dalam Prolegnas 2019 - 2024 dan bahkan sempat menjadi RUU Prioritas tahun 2023. Namun prosesnya tersendat karena kendala di tingkat DPR Aceh waktu itu. Setelah kendala tersebut diselesaikan di daerah, DPRA bersama Pemerintah Aceh mengajukan kembali draf revisi UUPA pada Mei 2025 dengan harapan dapat dibahas segera di DPR RI. Kenyataannya, hasil kesepakatan Prolegnas Prioritas 2025 justru tidak memuat RUU ini, sehingga menimbulkan tanda tanya besar di Aceh mengenai seberapa kuat dukungan politik di tingkat pusat terhadap agenda strategis tersebut.

Tidak masuknya revisi UUPA dalam Prolegnas Prioritas 2025 memicu kritik mengenai kinerja dan pengaruh politik wakil-wakil Aceh di tingkat nasional. Sejumlah pengamat menilai absennya RUU penting bagi Aceh ini mencerminkan lemahnya lobi dan perjuangan elit Aceh di Jakarta. Posisi tawar politik Aceh saat ini dinilai rendah, sehingga agenda strategis seperti revisi UUPA pun luput dari perhatian legislatif nasional.

Tokoh Aceh yang juga politikus PDI Perjuangan, Masady Manggeng, menyebut ketiadaan UUPA dalam daftar Prolegnas lima tahunan sebagai “alarm keras bahwa kekhususan Aceh berpotensi terpinggirkan jika kita tidak memiliki kekuatan politik yang terdistribusi dengan baik di Senayan”, ujarnya.

Ia menyoroti bahwa UUPA lahir dari MoU Helsinki 2005 dan diundangkannya UU No.11/2006 sebagai fondasi hukum pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh pascakonflik. Oleh sebab itu, kegagalan memasukkan revisi UUPA dalam Prolegnas dianggap sebagai sinyal melemahnya perhatian pusat terhadap komitmen politik tersebut.

Pengamat hukum Hermanto, S.H. berpendapat hasil Prolegnas ini dapat menjadi tolok ukur sejauh mana advokasi yang dilakukan para wakil rakyat Aceh di parlemen nasional.

Ia mengingatkan bahwa bila para elit dan wakil Aceh tidak kompak, bukan mustahil hasil revisi UUPA nantinya tidak optimal bagi Aceh, bahkan “beberapa poin krusial bisa saja dihapus karena tidak ada yang mampu mempertahankannya”, ujarnya.

Senada dengan itu, aktivis Sanusi Madli dari Lemkaspa Aceh juga khawatir tanpa kesatuan gerak, revisi UUPA dapat menghasilkan perubahan yang tidak menguntungkan Aceh. Ia mengajak seluruh pihak, termasuk anggota DPR RI, DPD RI, DPRA, dan Pemerintah Aceh untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam mengawal proses revisi ini di Jakarta.

Merespon kondisi tersebut, Koordinator Program ACSTF, Nina Noviana, menilai Ketua Forbes Aceh di DPR RI (forum anggota DPR/DPD RI asal Aceh) perlu menunjukkan tanggung jawab moral maupun jabatan atas belum terwujudnya agenda revisi UUPA.

“Ketua Forbes Aceh di DPR RI harus bertanggung jawab secara moral dan jabatannya kepada seluruh masyarakat Aceh,” tegas Nina.

Ia mengingatkan agar para pimpinan dan wakil rakyat Aceh tidak sekadar membangun pencitraan seolah-olah revisi UUPA sudah pasti masuk Prolegnas, sementara kenyataannya gagal terealisasi.

“Jangan sebatas membangun pencitraan seolah-olah revisi UUPA sudah jelas masuk di Prolegnas. Ini juga menunjukkan lemahnya komunikasi dari Forbes Aceh,” ujarnya kritis.

ACSTF mendorong agar transparansi dan komunikasi kepada publik Aceh diperkuat terkait perkembangan revisi UUPA. Nina Noviana mendesak Ketua Forbes Aceh, TA Khalid, untuk segera memberikan penjelasan terbuka kepada publik Aceh mengenai penyebab revisi UUPA tidak masuk Prolegnas Prioritas.

Menurutnya, klarifikasi ini penting sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat Aceh, sekaligus pembelajaran agar ke depan tidak terjadi misinformasi. ACSTF juga mengharapkan adanya evaluasi menyeluruh atas strategi perjuangan politik Aceh di tingkat pusat.

Sebagai solusi ke depan, ACSTF menekankan perlunya peningkatan koordinasi dan konsolidasi antar pemangku kepentingan Aceh. Seluruh wakil rakyat asal Aceh, baik di DPR RI maupun DPD RI, bersama pemerintah Aceh dan DPRA, harus bersatu mengawal agenda revisi UUPA agar dapat masuk dalam prioritas legislasi berikutnya dan dibahas tuntas sesuai harapan rakyat.

“Pemerintah Aceh tidak akan mampu berbuat banyak tanpa dukungan dari para wakil di DPR dan DPD RI, karena seluruh proses pembahasan terjadi di Jakarta,” kata Sanusi Madli sebelumnya, menekankan pentingnya kolaborasi pusat-daerah dalam isu ini. ACSTF sependapat bahwa kekompakan dan lobi intensif adalah kunci agar kekhususan Aceh yang diamanatkan dalam UUPA tidak tergerus di tingkat nasional.

Nina Noviana menegaskan bahwa perjuangan revisi UUPA tidak boleh berhenti. ACSTF berharap agenda ini terus diperjuangkan hingga berhasil disahkan, mengingat UUPA merupakan amanah MoU Helsinki dan landasan perdamaian Aceh.

“Jangan biarkan janji perdamaian tersebut berubah menjadi ilusi hanya karena kita absen di ruang pengambilan keputusan nasional,” pungkasnya, mengutip semangat yang disuarakan para tokoh Aceh.

Dengan evaluasi dan langkah perbaikan yang tepat, ACSTF optimistis revisi UUPA masih dapat diwujudkan demi memperjelas kekhususan Aceh dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh di masa mendatang.


Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
bpka - maulid
bpka