DIALEKSIS.COM | Aceh - Sosok Hj. Salmawati, S.E., M.M. akrab disapa Bunda Salma bukanlah figur biasa. Dalam bahasa anak Medan, ia bukan “kaleng-kaleng”. Perempuan ini cerdas, bertalenta, dan berdedikasi penuh untuk rakyat. Namanya kian menonjol ketika resmi dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam Rapat Paripurna Istimewa pada 21 Mei 2025.
Pelantikan Pergantian Antar Waktu (PAW) itu dipimpin Wakil Ketua DPRA Ali Basrah, disaksikan langsung Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem). Bunda Salma menggantikan Ismail A. Jalil (Ayahwa) yang mundur setelah terpilih sebagai Bupati Aceh Utara. Ia kini duduk di kursi DPRA periode 2024 - 2029, mewakili Dapil 5 Aceh Utara - Lhokseumawe.
Sejak saat itulah, kiprahnya mencuri perhatian publik. Redaksi Dialeksis bersama Nukilan mencatat jejak digital dan aktivitas politiknya, dari hari pelantikan hingga 26 September 2025.
Dalam wawancara perdananya bersama Dialeksis, Bunda Salma menegaskan bahwa dirinya masuk politik bukan demi ambisi pribadi. “Saya turun ke masyarakat sebagai Salma, bukan sebagai istri siapa,” ujarnya. Ia ingin dikenal berdasarkan jati dirinya, bukan statusnya sebagai istri Gubernur Aceh.
Fokus perjuangannya jelas: masyarakat kecil. Tim sukses yang ia bentuk pun unik, terdiri dari yatim piatu, anak syuhada, perempuan tanpa penghasilan, dan inong balee janda korban konflik. Dengan begitu, ia memastikan suara kelompok rentan ikut terwakili.
“Bagi saya bukan hanya perempuan. Tapi siapa pun yang membutuhkan,” katanya tegas. Politik baginya adalah jalan pengabdian. Bukan ruang untuk memperkaya diri, melainkan wadah untuk memberi manfaat sebesar-besarnya.
Awal Juni 2025, Bunda Salma meninjau jalan rusak sepanjang delapan kilometer yang menghubungkan Paya Bakong“Pante Bahagia di Aceh Utara. Jalan itu tak pernah tersentuh aspal sejak Indonesia merdeka. Padahal, ia menjadi urat nadi ekonomi warga: jalur angkut hasil panen, akses wisata Pante Bahagia, sekaligus penghubung ke proyek strategis nasional Waduk Krueng Keureuto.
“Insya Allah, saya siap memperjuangkannya. Masyarakat sudah lama menunggu jalan ini diperbaiki,” katanya saat kunjungan, didampingi pejabat PUPR dan tokoh masyarakat.
Bagi warga, kedatangan legislator perempuan itu ibarat cahaya baru. Jalan bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang membuka akses rezeki, wisata, dan kesejahteraan.
Tak berhenti di urusan infrastruktur, Bunda Salma menunjukkan kepedulian di bidang sosial-keagamaan. Menjelang Idul Adha 1446 H, ia menyerahkan sapi kurban ke berbagai gampong dan dayah di Aceh Utara.
Di Dayah Riyadhatul Qulub, masyarakat menyampaikan rasa syukur. “Terima kasih Bunda Salma, semoga berkah,” ucap seorang ibu dalam video yang viral.
Bagi Bunda Salma, ibadah kurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan wujud cinta dan pengabdian kepada Allah SWT. Kehadiran seorang wakil rakyat di momen sakral ini menghadirkan nuansa baru: pemimpin yang menyatu dengan rakyat, dalam doa dan daging yang dibagi rata.
Pertengahan Juni 2025, nama Bunda Salma mencuat lantaran keberaniannya menyuarakan kepentingan Aceh dalam sengketa tapal batas dengan Sumatera Utara. Empat pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang sempat diklaim masuk wilayah Sumut oleh Kementerian Dalam Negeri.
Bunda Salma menolak keras. “Ini bukan urusan teknis-administratif. Ini soal keadilan konstitusional,” katanya lantang. Ia mengecam sikap DPRD Sumut yang dianggap arogan. “Jangan bertindak seperti penjajah yang berlindung di balik kertas pusat. Ini bukan zaman Hindia Belanda.”
Pernyataannya menggema. Ia menolak ide “kelola bersama” pulau sengketa. “Itu seperti mencuri sawah orang lalu mengajak bertani bersama. Bukan kompromi, itu pelecehan logika keadilan,” tegasnya.
Tak lama berselang, Presiden Prabowo Subianto mengoreksi keputusan tersebut. Empat pulau resmi ditetapkan kembali sebagai wilayah Aceh. Bagi Bunda Salma, ini bukan sekadar kemenangan administratif, melainkan penegasan martabat dan identitas Aceh.
Namun ia mengingatkan, “Menjaga wilayah lebih sulit daripada merebutnya kembali.” Pesan itu ia titipkan sebagai pengingat agar rakyat dan elit Aceh tetap satu barisan.
Sebagai anggota Komisi III DPRA, Bunda Salma kerap menyoroti isu tambang. Baginya, tambang tak boleh hanya mengejar keuntungan ekonomi. Ia menekankan pentingnya menghargai kearifan lokal dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Tambang harus taat aturan, menghormati masyarakat sekitar, dan menjaga lingkungan,” ujarnya pada 17 September 2025.
Ia mengingatkan, masyarakat di sekitar tambang bukanlah objek, melainkan subjek yang berhak atas ruang hidupnya. Nilai-nilai lokal tata kelola hutan, sumber air, dan lahan pertanian harus menjadi pijakan. Jika diabaikan, konflik sosial tak terhindarkan.
Bunda Salma juga menegaskan pentingnya reklamasi pascatambang dan tanggung jawab sosial perusahaan. Kerusakan lingkungan, katanya, adalah warisan pahit bagi generasi mendatang. Maka prinsip keberlanjutan harus ditegakkan.
Di sektor ekonomi, perhatian Bunda Salma tertuju pada BUMD Aceh, khususnya PT Pembangunan Aceh (PEMA). Baginya, PEMA adalah kebanggaan sekaligus tumpuan harapan.
“PEMA bukan hanya harus tumbuh sehat, tapi juga menjadi lokomotif pembangunan ekonomi,” katanya.
Sebagai mitra kerja di Komisi III, ia mendorong transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas dalam pengelolaan. Ia menekankan pentingnya diversifikasi usaha: tidak hanya berhenti di hulu migas, tapi juga berani masuk ke hilirisasi pertanian dan perkebunan.
“Aceh punya potensi sawit, karet, kopi, hingga giok. Jika PEMA mau menggandeng UMKM lokal, nilai tambah akan meningkat, lapangan kerja terbuka, UMKM naik kelas,” ujarnya penuh visi.
Bunda Salma juga mendorong kerja sama investasi, tapi dengan syarat jelas: keuntungan harus kembali ke rakyat Aceh. “PEMA harus jadi jembatan investasi, tapi jangan sampai rakyat hanya jadi penonton.”
Sejak dilantik hingga September 2025, pemberitaan di Dialeksis dan Nukilan merekam langkah-langkah Bunda Salma yang cepat dan penuh makna. Ia menelusuri jalan berlubang, menyapa rakyat di dayah, bersuara di forum nasional, hingga menyoroti tambang dan BUMD.
Gaya kepemimpinannya memadukan populisme dengan ketegasan. Ia hadir sebagai perempuan yang memilih jalan berliku politik bukan demi nama, melainkan pengabdian.
Kehadirannya di DPRA memperlihatkan wajah baru politik Aceh: politik yang menyapa rakyat kecil, mengkritik pusat tanpa gentar, dan membangun ekonomi dengan visi jangka panjang.
Bunda Salma mungkin baru beberapa bulan duduk di kursi parlemen. Namun, dalam rentang singkat itu, ia telah menjelma menjadi suara lantang yang membawa harapan.
“Di tangan pemimpin yang tepat, perjuangan selalu menemukan jalannya,” ucapnya. Sebuah kalimat yang kini menjadi semacam janji, bukan hanya untuk dapilnya, tetapi untuk Aceh secara keseluruhan.