Selasa, 08 Juli 2025
Beranda / Parlemen Kita / Khalid Desak Pemerintah Aceh Tertibkan Izin Tambang dan Tindak Penambang Ilegal

Khalid Desak Pemerintah Aceh Tertibkan Izin Tambang dan Tindak Penambang Ilegal

Senin, 07 Juli 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Anggota Komisi IV DPR Aceh, Khalid. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Nagan Raya - Anggota Komisi IV DPR Aceh, Khalid, mendesak Pemerintah Aceh untuk segera menertibkan seluruh izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang selama ini dinilai tidak terkendali. Desakan ini terutama ditujukan untuk menghentikan praktik penambangan ilegal yang marak di berbagai daerah dan telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang masif.

“Penambang liar ini harus ditindak tegas. Mereka bukan hanya merusak hutan, tapi juga menghancurkan jalan-jalan desa, mencemari sungai, dan mengganggu ekosistem,” kata Khalid saat diwawancarai Dialeksis, Senin, 7 Juli 2025.

Politikus asal Pidie itu menyebut, penertiban IUP dan IUPK harus dilakukan secara menyeluruh dan transparan, terutama terhadap perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban reklamasi pasca tambang dan yang beroperasi di luar wilayah konsesi.

Menurut Khalid, lemahnya kontrol pemerintah terhadap aktivitas tambang berimbas langsung pada kehidupan masyarakat. Ia mencontohkan, banyak jalan utama di daerah pedalaman yang rusak berat akibat lalu lintas kendaraan tambang. Selain itu, hutan lindung yang seharusnya menjadi kawasan konservasi kini banyak yang beralih fungsi tanpa prosedur hukum yang jelas.

“Kalau ini terus dibiarkan, Aceh bukan hanya kehilangan kekayaan alamnya, tapi juga akan mewariskan bencana ekologis kepada anak cucu kita,” ujar Ketua Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia - Aceh.

Khalid menekankan bahwa pengelolaan tambang yang tertib dan legal dapat memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Namun, potensi itu tidak akan pernah maksimal selama tambang ilegal masih bebas beroperasi tanpa pengawasan.

“Kita bisa menjadikan sektor tambang sebagai salah satu sumber PAD yang sah dan berkelanjutan. Tapi syaratnya jelas: legal, dikelola secara profesional, dan ramah lingkungan,” katanya.

Ia menilai, pemerintah tidak cukup hanya mengeluarkan izin, tapi harus memastikan bahwa setiap perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh menjalankan seluruh kewajiban, termasuk pelaporan produksi, pembayaran royalti, dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat setempat.

Dalam konteks perlindungan lingkungan, Khalid mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk ikut mengawasi aktivitas tambang di wilayah mereka. Menurutnya, pelibatan publik penting agar kerusakan lingkungan tidak semakin meluas.

“Selama ini masyarakat hanya jadi korban. Padahal mereka punya peran penting dalam mengontrol aktivitas tambang, khususnya yang ilegal. Pemerintah harus memberikan ruang dan perlindungan bagi masyarakat yang berani melaporkan pelanggaran di lapangan,” ujar dia.

Lebih jauh, Khalid menilai bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk sektor pertambangan, harus dilakukan dengan pandangan jangka panjang. Aceh, katanya, tidak boleh terjebak dalam eksploitasi sesaat yang merusak lingkungan tanpa memberikan nilai tambah yang berarti bagi masyarakat.

“Kalau pengelolaan tambang kita bisa dikendalikan, tidak hanya lingkungan yang terselamatkan, tapi juga ekonomi daerah yang akan tumbuh. Ini bisa menjadi warisan berharga untuk anak cucu kita kelak,” ucapnya.

Selanjutnya, hal ini sejalan dengan visi, misi, dan gagasan Muzakir Manaf dan Fadhlullah untuk membenahi tata kelola pertambangan di Aceh melalui legalisasi tambang rakyat, yang dilakukan melalui pengesahan produk dan pembentukan koperasi.

Sejumlah laporan menunjukkan bahwa tambang ilegal di Aceh masih marak terjadi di sejumlah kabupaten, seperti Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Pidie. Aktivitas ini tidak hanya menyalahi hukum, tetapi juga menjadi sumber konflik horizontal antara masyarakat, perusahaan, dan kelompok kepentingan lainnya.

Khalid berharap Pemerintah Aceh, bersama aparat penegak hukum, segera mengambil langkah konkret untuk menertibkan seluruh kegiatan pertambangan, baik yang berizin maupun tidak. “Ini soal keberlanjutan. Kalau kita lambat bertindak, kerusakan yang terjadi akan sulit dipulihkan,” pungkas kader muda Golkar Aceh ini.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI