DIALEKSIS.COM | Jakarta - Enam tahun hidup di tanah rantau tanpa kabar, Ismail Ali Basyah akhirnya pulang ke kampung halamannya di Matang Seulimeng, Kota Langsa, Aceh. Pria 62 tahun yang berprofesi sebagai nelayan itu terdampar di Manado, Sulawesi Utara, sejak 2019, setelah rombongan pengembangan nelayan yang diikutinya tercerai - berai.
Perjalanan pulang Ismail tak lepas dari campur tangan anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman, atau yang akrab disapa Haji Uma. “Saat saya mendapat laporan tentang kondisi beliau kurang sehat, tanpa biaya, dan sudah bertahun-tahun tak berkomunikasi dengan keluarga saya merasa terpanggil. Ini bukan sekadar bantuan, tapi kewajiban kemanusiaan. Warga Aceh di manapun berada adalah tanggung jawab kita semua,” kata Haji Uma saat ditemui di Jakarta, Selasa, 12 Agustus 2025.
Haji Uma menambahkan, kepedulian terhadap warga Aceh di perantauan tidak boleh menunggu hingga mereka meminta. “Kadang mereka terlalu malu untuk meminta bantuan. Karena itu, kita yang harus aktif mencari tahu dan memastikan mereka mendapatkan perlindungan,” ujarnya.
Kisah keterdamparan Ismail bermula pada pertengahan 2019. Ia berangkat ke Manado mengikuti program pengembangan nelayan. Namun, sang koordinator meninggal dunia di tengah kegiatan. Rombongan bubar, dan Ismail mencari nafkah dengan menjaga rumput laut.
Suatu hari, nasib buruk menghantam. Rakit yang ia tumpangi terbalik dihantam gelombang setinggi empat meter. “Saya terombang-ambing di laut selama tiga hari tiga malam, sampai akhirnya diselamatkan nelayan Pulau Ruang,” ujar Ismail.
Sejak itu, ia hidup di Pulau Ruang, terputus dari keluarga, dan menjalani hari-hari dengan pekerjaan serabutan. Semua berubah ketika awal 2025, ia bertemu warga Aceh di Manado yang membantu menghubungkannya dengan Haji Uma.
Mendengar kabar itu, Haji Uma langsung bergerak cepat. Ia mengurus seluruh biaya dan logistik kepulangan Ismail dari Manado ke Aceh.
“Kita tidak boleh membiarkan warga kita terjebak dalam keterasingan di tanah orang. Kisah seperti ini adalah pengingat bahwa perhatian kita tidak boleh berhenti di batas geografis,” ujarnya.
Bagi Ismail, momen pulang adalah akhir dari penantian panjang. “Saya sangat bersyukur bisa kembali dan memeluk keluarga. Enam tahun ini penuh ujian,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Kepulangan Ismail menjadi penanda bahwa solidaritas dan kepedulian masih hidup di antara sesama warga Aceh. Satu langkah kecil, tapi berarti besar bagi seorang yang lama terpisah dari akar dan tanah kelahirannya.