Rabu, 29 Oktober 2025
Beranda / Parlemen Kita / DPRA Dorong Tata Kelola Tambang yang Berkeadilan dan Ramah Lingkungan

DPRA Dorong Tata Kelola Tambang yang Berkeadilan dan Ramah Lingkungan

Selasa, 28 Oktober 2025 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Komisi III, Nurchalis. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Komisi III, Nurchalis, menegaskan bahwa sektor pertambangan di Aceh harus menjadi sumber kesejahteraan rakyat, bukan sumber kerusakan lingkungan.

Ia mendorong perlunya tata kelola pertambangan yang transparan, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat lokal.

Hal itu disampaikan Nurchalis dalam diskusi publik bertajuk “Masa Depan Pertambangan Aceh, Harapan atau Ancaman?” yang digelar di Banda Aceh, Selasa (28/10/2025).

“Kalau sudah ada izin, kita harus dorong agar perusahaan benar-benar beroperasi dan tidak hanya menggantungkan izin di atas kertas. Tapi kita juga harus tahu hambatannya apa, kendalanya apa. Jangan sampai izin sudah dikantongi, tapi tidak ada aktivitas dan tidak memberi manfaat bagi Aceh,” ujar Nurchalis.

Menurutnya, banyak izin tambang di Aceh yang belum berjalan optimal karena berbagai faktor, seperti kendala modal, administrasi, dan persoalan teknis lapangan.

DPR Aceh, kata Nurchalis, berkomitmen melakukan pendampingan dan evaluasi komprehensif terhadap izin-izin lama tersebut agar bisa segera aktif berproduksi.

“Kami ingin tahu apa yang membuat izin itu tidak berjalan. Apakah belum memenuhi persyaratan, belum punya modal, atau ada hambatan administratif. Semua harus dikaji secara menyeluruh,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa pengawasan tidak boleh hanya berhenti di atas meja birokrasi, tetapi harus melibatkan komunikasi lintas lembaga dan pemangku kepentingan.

“Menyelesaikan persoalan tambang itu tidak cukup dengan asumsi. Harus ada interaksi, kolaborasi, komunikasi, dan strategi bersama. Pemerintah juga jangan menunggu bola, tapi harus menjemput bola,” tegasnya.

Nurchalis menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dan generasi muda Aceh dalam sektor pertambangan. Menurutnya, Aceh memiliki sumber daya alam yang besar, namun sumber daya manusianya belum sepenuhnya siap mengelola potensi tersebut.

“Kita harus menyiapkan kader-kader muda Aceh agar bisa mengisi posisi strategis di sektor pertambangan. Jangan sampai ketika tambang minyak besar nanti dibuka, putra-putri Aceh malah jadi penonton,” ujar Nurchalis.

Ia mengibaratkan kondisi ini seperti mencari payung di saat hujan sudah turun, artinya Aceh sering kali baru bereaksi setelah peluang besar terlewat.

“Mulai hari ini kita harus siapkan keahlian, pendidikan, dan pelatihan di bidang pertambangan. Karena membangun Aceh itu tanggung jawab kita sendiri, bukan orang luar,” tambahnya.

Sebagai anggota Komisi III yang membidangi energi dan sumber daya alam, Nurchalis juga menegaskan bahwa DPR Aceh berprinsip pemanfaatan tambang harus menjaga aspek lingkungan dan mengikuti kaidah teknis sebagaimana diatur undang-undang.

“Setiap kegiatan tambang harus memperhatikan dampak lingkungan dan menjalankan SOP lingkungan secara ketat. Kita harus belajar dari perusahaan-perusahaan yang sudah melakukan reklamasi dengan baik,” katanya.

Ia mencontohkan salah satu perusahaan tambang yang berhasil melakukan reklamasi pasca-tambang, di mana kawasan bekas galian kini telah ditanami kembali dan menjadi habitat bagi burung-burung liar.

“Kita bisa lihat di beberapa lokasi tambang, sudah dilakukan penanaman kembali, habitat satwa hidup lagi. Ini harus jadi contoh bagi perusahaan lain,” ujarnya.

Namun, Nurchalis juga mengingatkan bahwa jika ada perusahaan yang tidak patuh terhadap SOP lingkungan, maka pemerintah dan DPR harus bertindak tegas.

“Kalau nanti ditemukan tambang yang tidak bisa diawasi dan merusak hutan, siapa yang bertanggung jawab? Karena itu tata kelola tambang ini harus kita perbaiki,” tegasnya.

Nurchalis mengingatkan pemerintah agar tidak membiarkan gejolak-gejolak kecil dalam investasi menjadi hambatan besar yang menciptakan citra negatif bagi Aceh di mata investor nasional maupun asing.

“Kita belajar dari pengalaman. Ketika investor sudah datang, jangan dibiarkan muncul konflik dan tidak segera diselesaikan. Karena itu akan menjadi jejak digital investasi yang buruk,” ujarnya.

Menurutnya, jika iklim investasi di Aceh dianggap tidak kondusif, bukan hanya sektor pertambangan yang terdampak, tapi juga sektor-sektor lain seperti industri dan pariwisata.

“Kalau investor sudah melihat Aceh tidak nyaman, mereka akan berpikir dua kali. Padahal yang rugi siapa? Kita sendiri, generasi Aceh yang akan melanjutkan pembangunan ke depan,” tutur Nurchalis.

Sebagai langkah konkret, Nurchalis mendorong pengawasan bersama antara DPR, pemerintah daerah, dan media agar tata kelola tambang bisa lebih transparan dan akuntabel.

“Media juga harus ikut memantau. Kalau ada perusahaan yang tidak taat aturan, laporkan. Kami di DPR siap menindaklanjuti dan menyampaikan ke pemerintah,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa Aceh memiliki peluang besar untuk keluar dari ketergantungan fiskal, tetapi hanya jika sektor tambang dikelola dengan profesional, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

“Hari ini kita masih lemah secara fiskal. Kita miskin bukan karena sumber daya kita tidak ada, tapi karena tata kelola yang belum baik. Ini yang harus kita ubah bersama,” tutup Nurchalis. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI