DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Kota Banda Aceh diminta untuk tidak ragu memanfaatkan peluang besar dari sektor iklan rokok guna mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hal ini disampaikan oleh Anggota DPRK Banda Aceh, Abdul Rafur, yang menilai bahwa meskipun ada aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Kota Banda Aceh sebenarnya dapat mengambil manfaat besar dari pajak iklan rokok tanpa harus melanggar ketentuan yang ada.
Menurut Politisi partai Nasdem ini, sektor iklan rokok memiliki potensi yang sangat besar untuk mendongkrak PAD. Ia mencontohkan Aceh Besar yang berhasil meraih keuntungan besar dari iklan rokok, sementara Banda Aceh justru menolak peluang tersebut.
“Sektor pajak iklan rokok sangat besar untuk PAD. Kenapa kita tidak mau mengambilnya? Justru kita malah menekan pengusaha kecil yang baru merintis usaha seperti warung kopi dan rumah makan dan lainnya,” katanya.
Rafur mengkritik sikap Pemko Banda Aceh yang enggan memanfaatkan peluang pendapatan dari iklan rokok. Meskipun Kota Banda Aceh sudah memiliki Qanun Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang membatasi ruang bagi perokok di tempat umum, ia menilai bahwa iklan rokok tidak serta merta mengajak masyarakat untuk merokok. Iklan-iklan tersebut lebih banyak berfungsi untuk mempromosikan produk rokok, bukan untuk mengajak orang merokok.
“Meski iklan rokok dipasang, materi iklannya tidak mengajak orang untuk merokok. Jadi, menurut saya, tidak ada masalah jika iklan rokok tetap ada, asalkan mengikuti ketentuan yang ada dalam qanun KTR,” jelas Rafur.
Ia juga menyebutkan, fakta bahwa meskipun aturan KTR sudah ditetapkan dan ditempelkan di berbagai tempat, termasuk di warung-warung yang tidak memiliki AC, namun tidak ada pengawasan yang cukup ketat.
"KTR ini hanya menjadi tempelan. Banyak perokok yang tidak mengindahkannya, dan aturan denda 10 juta rupiah atau kurungan 14 hari pun sulit ditegakkan,” katanya.
Rafur juga menyarankan agar Pemko Banda Aceh tidak membebani pengusaha kecil, seperti warung warung dan rumah makan yang baru berkembang, dengan pajak yang tinggi. Ia menilai bahwa pembebanan pajak yang lebih besar pada sektor kecil hanya akan membebani mereka, sementara peluang besar dari pajak iklan rokok justru diabaikan.
“Pemko Banda Aceh ingin mendongkrak PAD, tapi di depan mata ada potensi besar dari sektor iklan rokok yang malah ditolak,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rafur menilai bahwa meskipun ada kebijakan KTR, kenyataannya masyarakat tetap merokok di mana saja. “Orang tetap merokok, meskipun sudah ada aturan KTR. Jadi, saya rasa kita harus realistis dan memanfaatkan pajak dari sektor ini,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa pajak rokok merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi negara, dan daerah-daerah lain seperti Aceh Besar telah memanfaatkannya dengan baik. Rafur juga menilai bahwa Pemko Banda Aceh harus lebih bijaksana dalam menyikapi masalah ini.
Jika daerah ini ingin meningkatkan PAD, harus ada keberanian untuk memanfaatkan peluang yang ada, tanpa harus takut dengan aturan yang sudah ada.
“Kita harus bisa melihat situasi secara keseluruhan. Pajak rokok sangat besar, sementara kita menolak itu. Jadi, jangan sampai kita hanya mengikuti arus dengan PAD yang kecil, sementara di luar sana ada potensi besar yang bisa dimanfaatkan,” tegasnya.
Sementara itu, di tingkat nasional, pemerintah tetap mengambil pajak dan cukai dari industri rokok, meskipun mereka juga mengkampanyekan Kawasan Tanpa Rokok. Rafur berpendapat bahwa kebijakan ini cukup paradox, karena meskipun merokok dianggap berbahaya bagi kesehatan, pemerintah tetap mengambil keuntungan besar dari pajak rokok
"Kalau memang ingin menghentikan merokok, seharusnya pemerintah menutup pabrik-pabrik rokok. Tapi kenyataannya, pajak rokok menjadi salah satu pendapatan negara yang cukup besar,” pungkas Rafur. [*]