kip lhok
Beranda / Opini / Zalimnya Pemimpin Siapa Disalahkan?

Zalimnya Pemimpin Siapa Disalahkan?

Minggu, 22 Oktober 2023 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Baga

Ilustrasi zalim. [Foto: IST]

DIALEKSIS.COM | Opini - Pesta demokrasi di bumi Pertiwisedang berlangsung. Pesta memlilih pemimpin yang bertaburan dengan uang dalam balutan dosa. Bila rakyat salah memilih akan menghasilkan dosa yang tidak akan habis, berlapis lapis.

Untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan ataupun jabatan, seseorang memberikan sesuatu dan mereka yang menentukan kedudukan itu (misalnya rakyat yang memilih) menerima pemberian itu dan memilihnya, maka akan menciptakan pemimpin zalim dan melahirkan dosa yang berlapis lapis.

“Seseorang yang berintegritas, memiliki kemampuan, jujur, amanah, tidak akan dipilih rakyat, bila dia tidak memiliki uang”. Kalimat ini bukan lagi rahasia umum.

Siapa yang akan dipilih rakyat? Seberapa besar pengaruh seseorang, apa yang dia berikan, berapa nilai yang didapat rakyat, itulah yang menjadi pilihan rakyat. Inilah gambaran demokrasi kita saat ini.

Bahkan ada penipuan terang-terangan berlangsung. Dia menerima pemberian, uang atau benda yang diberikan oleh orang yang mengharapkan rakyat memilihnya. Namun kenyataan, dia memilih orang lain. Uang diterima, pilihan berbungkus dosa.

Walau tidak semua rakyat mau berbalut dengan dosa berlapis lapis, namun kenyataan ini tidak bisa dipungkiri. Rakyat sudah menggunakan haknya untuk melahirkan pemimpin zalim.

Ketika sang pemimpin pilihan rakyat diberikan amanah, dia akan mencari, mempercayai orang-orang yang sefaham dengan dia dalam mengamankan kedudukanya. 

Ketika dia berlaku zalim, mempergunakan kesempatan pemegang amanah untuk kepentinganya dan kelompoknya, maka terciptalah dosa baru. Dosa yang berlapis lapis yang dilahirkan dari perbuatan dosa diawalnya.

Rakyat juga yang memilihnya juga akan menanggung dosa pemimpin yang zalim, karena rakyat sudah memilihnya melalui proses yang zalim, melalui suap menyuap. Berapa dan siapa, terus menggema di negeri ini.

Jangan berharap tatanan di negeri ini akan baik, bila rakyat yang sudah memberikan hak pilihnya melahirkan pemimpin yang zalim, kelak akan menjadi perampok kekayaan rakyat. Lihatlah banyak pemimpin yang masuk jeruji besi karena tidak amanah.

Hukum memberi, menjadi perantara, dan menerima suap adalah haram. Tatanan agama dengan tegas menyebutkanya. Suap termasuk dalam perbuatan dosa besar, hasil yang didapat dari praktek ini juga merupakan hasil yang haram. 

Namun walau dengan tegas disebutkan haram, banyak kalangan yang melakukan hal ini demi mencapai tujuan. Rakyat juga berbondong-bondong melakukan dosa. Pesta memilih pemimpin sudah melahirkan pesta dosa.

Dalam Islam, pemberi suap disebut rasyi, penerimanya adalah murtasyi, sedangkan sebutan untuk penghubung antara keduanya adalah ra'isy. Suap, uang pelicin, money politic dan lainnya disebut risywah jika tujuannya untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah.

"Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap" (HR Khamsah kecuali an-Nasa'i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).

"Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya." Mereka bertanya: "Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?", "Suap dalam perkara hukum" (Al-Qurthubi 1/ 1708)

Namun di kalangan masyarakat masih terdengar di Aceh misalnya, “ Pue di joek, padum (Aceh). Hana osahe, sidah sara jema (Gayo) masih menjadi pembahasan masyarakat. Mereka yang punya integritas, tidak akan dipilih rakyat, bila tidak bertaburan uang.

Dalam tatanan hukum di Bumi Pertiwi, Undang-undang Republik Indonesia No. 11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap dengan tegas dijelaskan. Suap didefinisikan sebagai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajiban yang menyangkut kepentingan umum.

Jangan disalahkan bila nanti pemimpin yang terpilih akan berlaku zalim, baik untuk pemimpin rakyat di Parlemen dalam segala tingkatan, kepala desa hingga pemimpin tertinggi di negeri ini.

Karena rakyat sudah berlaku zalim dalam melakukan pemilihan. Rakyat mau diajak untuk pesta dosa dalam memilih pemimpin. Dosanya akan berlapis lapis, bukan hanya proses pemilihan, namun ketika sang pemimpin melakukan kezaliman, dosa itu juga akan ditanggung rakyat yang memilihnya.

Apakah pesta demokrasi 2024 ini, pesta dosa itu masih diperankan rakyat? Kapan kita sadar dalam menata negeri ini. Jadilah rakyat yang bijak dalam menggunakan hak, bukan menambah daftar dosa. 

Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum, bila kaum itu tidak mengubah nasibnya. Bila kita masih mau terbuai dengan bujuk janji berbalut dosa, apakah yang salah negeri ini, bila pemimpinya tidak amanah? 

Penulis: Bakhtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda