Urgensi Badan Pengelola Tambang Aceh
Font: Ukuran: - +
Penulis : Muhammad Ridwansyah
Penulis: Muhammad Ridwansyah (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)
DIALEKSIS.COM | Opini - Menurut data terbaru Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, produksi batubara Indonesia pada tahun 2024 mencapai 830,97 juta ton atau 117,04% dari target produksi sebesar 710,00 juta ton.
Rinciannya adalah sebagai berikut: produksi batubara 830,97 juta ton, realisasi ekspor 433,71 juta ton, realisasi domestic market obligation (DMO) 209,93 juta ton, dan realisasi pemakaian domestik 378,83 juta ton.
Tentu saja, di antara capaian ini terdapat kontribusi dari tambang-tambang di Aceh, yang sebagian besar dikelola oleh perusahaan swasta.
Berdasarkan data MODI, beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh Barat dan Nagan Raya meliputi PT MIFA, PT Bara Energi Lestari, PT AJB Coal Mining, PT Nirmala Coal Nusantara, PT Lhoong Setia Mining, PT Energi Tambang Gemilang, PT Mega Multi Cemerlang, dan lainnya.
Manfaat Tambang bagi Aceh
Namun, pertanyaannya adalah: sejauh mana tambang batubara memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Aceh? Apakah penting bagi Aceh untuk memiliki badan pengelola tambang sendiri? Dan apakah memungkinkan masyarakat Aceh mendapatkan hak atas benefit sharing dari pengelolaan tambang ini?
Pengaturan tambang di Aceh saat ini diatur melalui dua qanun, yaitu: Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kedua qanun ini merupakan implementasi dari Pasal 7, Pasal 11, Pasal 34, Pasal 156, Pasal 159, dan Pasal 165 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Meskipun demikian, pengelolaan tambang di Aceh masih mengacu pada skema pajak umum yang dikelola pemerintah pusat. Sebagai contoh, pajak yang dibayarkan oleh perusahaan tambang di Aceh tetap disetor ke KPP Pratama Meulaboh, di bawah rezim Direktorat Jenderal Pajak. Kondisi ini menunjukkan bahwa Aceh belum mendapatkan hak pendapatan asli daerah (PAD) secara penuh dari sektor tambang.
Pentingnya Benefit Sharing
Benefit sharing adalah konsep pembagian manfaat ekonomi sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya alam kepada masyarakat lokal. Contoh penerapan konsep ini dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2021, yang memberikan hak kepada masyarakat adat atas manfaat ekonomi dari kawasan hutan yang mereka kelola.
Di Aceh, konsep benefit sharing dapat diwujudkan, misalnya, melalui pembagian tunai langsung kepada masyarakat miskin dengan data penerima yang akurat dan transparan. Langkah ini tidak hanya meringankan beban hidup masyarakat tetapi juga meningkatkan kesejahteraan mereka secara langsung.
Namun, agar kebijakan ini dapat terlaksana, diperlukan badan khusus seperti Badan Pengelola Tambang Aceh (BPTA) yang bertugas mengelola dana benefit sharing dan memastikan bahwa manfaat tambang benar-benar dirasakan oleh masyarakat Aceh.
Badan Pengelola Tambang Aceh: Solusi yang Mendesak
Pembentukan BPTA sebenarnya tersirat dalam Pasal 156 UUPA, yang menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya alam, baik di darat maupun di laut.
Saat ini, pengelolaan tambang di Aceh masih dilakukan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, birokrasi yang kompleks sering kali menghambat efektivitas pengelolaan.
Dengan adanya BPTA, pengelolaan tambang di Aceh akan lebih profesional, akuntabel, dan langsung bertanggung jawab kepada Gubernur Aceh. BPTA juga dapat bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM untuk memastikan kelancaran operasional tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA).
Penutup
Sektor pertambangan Aceh memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika dikelola dengan baik. Model pembagian manfaat, seperti yang diterapkan di Brunei Darussalam, dapat menjadi inspirasi: subsidi pendidikan, pekerjaan, listrik, dan air yang dikelola untuk kepentingan rakyat. Dengan adanya pemimpin yang visioner dan kebijakan berbasis penelitian yang komprehensif, Aceh dapat memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Semoga pembentukan BPTA dapat segera diwujudkan di masa mendatang.
Penulis: Muhammad Ridwansyah (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)