Selasa, 10 Juni 2025
Beranda / Opini / Upaya Hukum dalam Mengembalikan Empat Pulau di Singkil

Upaya Hukum dalam Mengembalikan Empat Pulau di Singkil

Senin, 09 Juni 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Bahrul Ulum

Bahrul Ulum, SH MH, Praktisi Hukum. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Publik di Aceh dihebohkan dengan dicatutnya empat pulau di wilayah Aceh Singkil menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. 

Status administratif tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Bagi penulis sendiri, hal ini merupakan fenomena aneh, mengapa baru di tahun kepemimpinan Muzakir Manaf isu ini kembali muncul bagaikan badai dahsyat yang menguncang publik Aceh dan seakan-akan pemerintah sebelumnya tidak pernah berbuat dan sayangnya publik menilai lepasnya pulau tersebut berada pada masa kepemimpinan Mualem dan Dek Fadh, padahal permasalahan keempat pulau ini sudah terjadi sejak tahun 2022, pada saat itu Gubernur Nova Iriansyah mengajukan protes lahirnya Kepmendagri Nomor 050-145 tahun 2022, pada masa beliau juga telah ditandatangani Berita Acara Bersama antara Aceh, Sumut dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI, di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Senin, 20 Juni 2022.

Protes terhadap masuknya empat pulau tersebut ke wilayah Sumut juga pernah dilakukan oleh Penjabat Gubernur Ahmad Marzuki di tahun 2023 dengan mengajukan keberatan terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri 100.1.1-6117 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutrakhiran Kode Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetap pada tanggal 9 November 2022. Bukan malah melakukan perubahan, namun Pemerintah Pusat kembali menebitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang isinya juga sama yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah administratif Sumut.

Penulis menilai bahwa dalam bingkai ketata negaraan dan hubungan pemerintahan, Pemerintah Aceh sebagai bagian dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki kewenangan yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan, begitu juga dengan Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Tindakan Pemerintah Aceh dalam melayangkan keberatan kepada Pemerintah pusat bukan tanpa sebab, alasan yang utama bahwa secara historis dan sosiologis serta hasil dari survei bersama di tahun 2022 pulau tersebut masuk di dalam wilayah Aceh di Kabupaten Aceh Singkil, namun upaya yang maksimal dan terukur di dalam etika pemerintahan ya hanya sebatas menyurati dan permohonan fasilitasi serta agar dilakukan perubahan terhadap keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut dilakukan perubahan.

Kekosongan Hukum

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur secara khusus bagaimana jika terjadi sengketa perebutan wilayah pulau antar pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat hanya mengatur tentang penyelesaian Batas Daerah sebagaimana diatur di dalam Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah dan sejauh ini penyelesaian permasalahan hubungan pusat dan daerah dilakukan dengan kebijakan fasilitasi, harmonisasi regulasi, penguatan desentralisasi, dan penyelarasan kebijakan fiscal serta memastikan peraturan daerah tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Namun sayangnya, terhadap kasus-kasus seperti keempat pulau tersebut peraturan perundang-undangan belum mengaturnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardi Eko Wijoyo, dkk, pada STIA LAN Jakarta dalam jurnalnya dengan judul Strategi Penyelesaian Sengketa Pulau Antara Kabupaten Aceh Singkil Pemerintah Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara (https://doi.org/10.35817/publicuho.v7i2.452), menyatakan belum terdapat suatu pedoman/mekanisme yang ditetapkan dengan hukum untuk penyelesaian permasalahan pulau dan data penamaan rupabumi (gazeter) tahun 2020 yang dijadikan pedoman bagi Kepemendagri Nomor 050-145 tahun 2022 bukan merupakan produk hukum namun hanya berupa buku dan tidak sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 51 tahun 2021 tentang Nama Rupabumi tahun 2021 yang menyatakan bahwa 4 (empat) pulau yang bersengketa tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia tanpa menyebutkan masuk ke dalam kabupaten atau provinsi tertentu.

Hal inilah yang memicu permasalahan, sehingga saling klaim terjadi, padahal jika Pemerintah pusat arif dan bijak melihat perselisihan yang berlangsung sudah sejak lama dengan melihat aspek historis dan sosiologis keberadaan pulau tersebut, Pemerintah Pusat tidak perlu buru-buru menerbitkan Keputusan yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk di dalam wilayah Sumut.

Pola Penyelesaian

Pola penyelesaaian sengketa tidak terlepas dari proses penyelesaian sengketa secara mediasi maupun penyelesian dengan mengajukan upaya hukum pada pengadilan. Namun sebenarnya Mendagri dapat menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan Pasal 21 Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah yang menyatakan “Dalam hal terjadi perselisihan penegasan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antar daerah provinsi, diselesaikan sesuai dengan tahapan dan tata cara penyelesaian perselisihan batas daerah antara pemerintah dan pemerintah daerah”. Walaupun ketentuan ini tidak mengatur secara khusus mengenai perselisihan terhadap pulau, namun esensi permasalahan juga mengenai batas wilayah Aceh yang telah menjadi wilayah Sumut. Setidaknya Pemerintah dapat menyelesaikan polemik keempat pulau tersebut dengan membuka kembali ruang dialog bagi para pihak serta memeriksa bukti-bukti historis dan sosiologis dari kedua pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat pun seyogyanya harus memahami kedudukan dari Pemerintah Aceh yang memiliki kewenangan khusus sebagaimana diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 8 ayat 3 yang menyatakan “Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur” Artinya bahwa dalam menerbitkan Permendagri tersebut, harus adanya konsultasi terlebih dahulu dan pertimbangan Gubernur Aceh.

Pemerintah selaku pihak yang berwenang dalam menerbitkan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025 dapat melakukan perubahan dengan mencabut keputusan tersebut, hal ini didasarkan pada Pasal 68 ayat (1) huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Hanya Warga Negara yang dapat Menggugat

Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025 adalah Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal ini berlaku asas Presumtio Iustae Causa, artinya bahwa Keputusan pejabat TUN wajib dianggap benar sebelum dicabut dan dibatalkan oleh Pengadilkan. Selanjutnya Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, tentu Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil adalah bukan selaku orang atau subjek hukum perdata. Kedudukan Gubernur adalah juga selaku wakil Pemerintah pusat di daerah, dengan demikian sudah tentu upaya-upaya dalam mengajukan gugatan atas nama Pemerintah Aceh tidak dapat dilakukan, namun bagi warga negara yang merasa dirugikan atas terbitnya Kepmendagri tersebut dapat saja mengajukan keberatan dan gugatan. Hal ini lumrah dilakukan dalam kerangka negara hukum yang mana bahwa salah satu pilar negara hukum adanya Peradilan Tata Usaha Negara.

Penulis yakin dan percaya bahwa pemerintah, dalam hal ini Mendagri dapat menyelesaikan permasalahan keempat pulau tersebut dengan pola-pola mediasi, bukan selaku wasit tetapi bertindak secara netral selaku mediator yang dengan arif dan bijak dalam membuat keputusan,. Disisi yang lain, Pemerintah Aceh bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil serta stakeholder terkait harus tetap terus melakukan upaya-upaya diplomasi sampai ke Presiden agar keempat pulau tersebut kembali masuk menjadi wilayah administrasi Pemerintah Aceh. Semoga! [**]

Penulis: Bahrul Ulum SH MH (Praktisi Hukum)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI