Beranda / Opini / Tetapi oleh Perdagangan!

Tetapi oleh Perdagangan!

Selasa, 18 September 2018 14:01 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Bisma Yadhi Putra


Oleh: Bisma Yadhi Putra *

 PADA waktu orang-orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan hariannya melihat otoritas politik lebih sering abai pada keadaan mereka, entah karena karakternya memang begitu atau karena telah tergelincir dari orientasi penyejahteraan umum yang sebelumnya sempat sebentar diupayakan, kemanakah mereka akan pergi? 

Seseorang yang dulu ikut angkat senjata sedari tahun 2001 hingga 2004 mengizinkan saya menceritakan kisahnya tanpa menyebut nama asli. Si Fulan ini selama tiga tahun setelah konflik mencari kerja ke sana-sini, meminta pemerintah daerah memberinya pekerjaan (waktu itu ia minta jadi Polisi Pamongpraja), hingga memasukkan proposal ke banyak instansi melalui orang-orang ternama yang dulu juga angkat senjata.

Sampai di 2008, dia menyerah. Segala usahanya meminta kepedulian otoritas politik hanya menghasilkan uang kecil. Ke kampungnya ia kemudian pulang. Mencari uang dengan menendang meja di kantor-kantor pemerintahan sudah selesai baginya. Dalam keadaan pelik, mulailah ia memaksimalkan pikiran sehatnya.

Pertama-tama, dengan bekal pengalaman menjadi tukang urut rekan-rekan kombatan semasa konflik dulu, ia buka usaha pijat tradisional yang merangkap kios pulsa. Halaman belakangnya digunakan untuk beternak bebek. Maka jadilah Fulan pengusaha. Dia menjual jasa, pulsa, hingga telur angsa. Dan sekarang usahanya bukan itu saja. Sebagian anak muda di kampung pun direkrut jadi pekerja.

Ketika Fulan mengatakan "jangan mengharapkan pekerjaan pada pemerintah, tetapi ciptakanlah lapangan kerja sendiri", omongannya dipercaya. Karena riwayat hidupnya langsunglah yang menjadi bukti. Sebaliknya, menjadi sangat menggelikan saat pernyataan semacam itu disuarakan oleh seorang pemuda yang sudah bertahun-tahun bekerja di kantor bupati tetapi punya usaha kedai kelontong kecil-kecilan sendiri yang cuma buka malam hari dan mempekerjakan satu orang: dia sendiri. Apalagi kekonyolan tersebut disertai penolakan atas kritik terhadap otoritas politik yang tidak hirau pada mereka yang hidup di level prasejahtera.

Soal itu bukanlah hal yang mengada-ada. Ambillah peristiwa terdekat. Kemarin itu, sewaktu ribut-ribut pengesahan APBA 2018, orang-orang yang hidupnya nestapa berada di tengah-tengah pertelingkahan dua singa lapar yang berdiri di dekat tumpukan daging buruan.

Singa yang satu minta jatah lebih banyak untuk dibagikan kepada kawan-kawan di kelompoknya yang tahun depan akan memilih pemimpin kelompok yang baru. Sementara singa satu lainnya meminta jatah buruan lebih banyak karena harus memenuhi tuntutan anggotanya yang tahun lalu telah berjasa menjadikannya sebagai pemimpin baru mereka.

Yang sama dari kedua gerombolan ini: sama-sama mereka mengaku sedang memperjuangkan hak umum. Padahal kenyataannya mulai makin susah disangkal bahwa memang tidak pernah penyejahteraan umum itu menjadi preferensi mereka yang punya kuasa di tempat kita. Sesekali saja diupayakan, seringnya diabaikan. Orientasinya bukan itu lagi.

Maka keheranan ekonom Rizal Ramli soal Aceh "yang dikasih uang banyak kok nggak jadi apa-apa" (Serambi, 17/4) seharusnya sama sekali tidak mengherankan kita yang sudah paham betul bahwa segala perbincangan para pembesar soal kesejahteraan, atau mengenai "muruah bangsa Aceh", cuma sesuatu yang diusahakan (bukan diwujudkan!) kapan suka saja, meski segala sumber daya utama yang diperlukan untuk mewujudkannya tidak hanya tersedia secara cukup, melainkan melimpah. Itu pun kadang diupayakan dengan tindakan-tindakan yang tidak berkenaan sama sekali dengannya.

Mencari dalam perdagangan

Akhirnya, pelan-pelan, tumbuh kekecewaan pada mereka yang mulanya berharap akan tersiram tetesan-tetesan kepedulian otoritas politik. Mereka kemudian balik badan, lari menuju ke sesuatu yang lebih menjanjikan: (wilayah) perdagangan.

Di sanalah orang-orang yang sehari-harinya kesusahan memenuhi kebutuhan hidup, bahkan dalam kadar yang cukup saja, bisa bertahan. Bahkan bisa semakin berdaya dari waktu ke waktu. Ke sanalah semestinya mereka menuju di kala otoritas politik tidak menjadikan peningkatan kualitas hidup orang banyak sebagai perhatian utama dalam kerja-kerja politiknya.

Selagi sumber daya untuk meluaskan kesejahteraan umum dieksploitasi di dalam institusi politik formal, di dalam pelaksanaan kekuasaan, perdaganganlah yang lebih mampu secara konstan menyediakan sumur-sumur pendapatan bagi mereka yang malang.

Sebagaimana Fulan tadi, dalam wilayah perdagangan ada pula mahasiswa yang coba meringankan kesulitan membayar biaya pendidikannya. Yang mau jual pulsa, jual pulsa. Yang merasa online shop prospektif, buka online shop. Yang jago bikin kue, bikin kue untuk dijual di sekitar kampus. Yang punya jaringan ke para pemadat, jual ganja. Yang tergiur hadiah kapal pesiar, gabung perusahaan MLM.

Perdagangan menerima siapa saja, menolong siapa saja, dan mendayakan siapa saja yang mau berpikir dan tekun berupaya. Bahkan mereka yang tidak berdagang pun bisa mengambil manfaat di dalamnya, seperti yang dilakukan pengemis. Apakah pengemis berdagang? Tidak. Apakah pengemis bisa dapat banyak uang di dalam wilayah perdagangan? Bisa.

Kenyataannya tidak semua yang nestapa masuk ke dalam wilayah perdagangan untuk berdagang. Sejumlah lainnya memilih menjadi pengemis. Lebih-lebih bila dari apa yang dirasakan sendiri ternyata dengan mengemis uang besar bisa lebih mudah didapat, terutama tanpa perlu modal besar (uang, lahan, informasi, dan sebagainya). Maka sama halnya dengan pemburu laba, konsumen, dan otoritas politik, pengemis juga termasuk pihak yang mengambil manfaat langsung dari terselenggaranya perdagangan.

Pengemis memang membeli/mengonsumsi komoditas-komoditas. Akan tetapi manfaat paling utama yang mereka peroleh di dalam wilayah perdagangan bukanlah pada aktivitas tersebut. Perdagangan menciptakan keramaian yang bisa dimasuki untuk memburu derma. Meski potensi pemerolehan pendapatan dalam keramaian ini sebenarnya cukup spekulatif.

Umpamanya ada sepuluh pedagang dalam sebuah kota. Tidak secara pasti semuanya akan memberi derma. Dalam dugaan lain: lesunya perdagangan, yang ditandai dengan merosotnya penjualan, dibayangkan akan berdampak pada menurunnya jumlah uang yang akan diperoleh pengemis. Padahal dalam keadaan seperti itu bisa saja semakin banyak yang terdorong untuk bersedekah, bahkan juga dalam jumlah yang lebih banyak dari hari-hari sebelumnya, karena didorong oleh keyakinan bahwa menginfakkan sebagian pendapatan/harta kepada yang papa akan mendatangkan pahala dan rezeki lebih. Dengan demikian, ternyata wilayah perdagangan yang dimasuki untuk mengemis akan menjadi lebih spekulatif ketimbang sebagai tempat berdagang itu sendiri.

Pengemis tidak menggerakkan perdagangan karena posisi utamanya dalam perdagangan bukanlah sebagai pembuat permintaan (konsumen) atau pihak yang mampu memenuhi permintaan tersebut (produsen/pedagang). Permintaan yang dibuat pengemis cukup unik, yakni permintaan atas terjadinya keseluruhan aktivitas perdagangan.

Permintaan mereka adalah permintaan atas "adanya orang yang membuat permintaan pada barang-barang" dan "adanya orang-orang yang bisa memenuhi permintaan-permintaan tersebut". Lebih besar dari permintaan yang dibuat konsumen, mereka membuat permintaan atas tercipta dan berkembangnya perdagangan.

Antara mencari sedekah di luar atau di dalam wilayah perdagangan jelas beda prospeknya. Terlebih bagi jenis pengemis yang menetap di satu titik, tidak mengitari jalanan. Oleh karenanya yang paling tidak diinginkan pengemis adalah matinya perdagangan, meski sebenarnya perdagangan tidak bisa dibunuh. Sementara yang paling diinginkan adalah semakin meluasnya wilayah perdagangan agar ruang potensi yang spekulatif itu semakin membesar.

Sumur yang disediakan kapitalisme

Meski terdengar cukup menggelikan, pada titik inilah sebenarnya orang-orang papa yang diabaikan otoritas politik tadi memiliki harapan yang sejalan dengan salah satu keinginan kapitalisme: meluasnya wilayah perdagangan. Gangguan-gangguan yang terjadi di dalam perdagangan bisa menjadi gangguan langsung pula bagi kehidupan mereka. Melemahnya perdagangan adalah kondisi yang sebenarnya lebih tidak diinginkan.

Bahwa kapitalisme adalah sistem yang eksploitatif, betul. Bahwa ia telah melempar banyak orang ke dalam sumur kenestapaan, juga betul. Itu tidak bisa disangkal memang. Tetapi manakala otoritas politik juga ikut-ikutan eksploitatif, kapitalisme setidaknya bisa menempatkan mereka yang tersisihkan ke dalam sumur yang di sisi-sisinya terdapat lumut yang bisa dicomot sedikit-sedikit.

Adalah meluasnya wilayah perdagangan yang lebih banyak berkontribusi pada terciptanya sumber-sumber pendapatan mereka. Bukan oleh kucuran anggaran daerah, bukan oleh keputusan kepala daerah, bukan oleh "perjuangan" para legislator di parlemen daerah.

Perdaganganlah yang telah menegakkan lebih banyak hal; yang telah mendayakan banyak orang yang tak hendak diberdayakan otoritas politik. Bahkan dialah yang sebenarnya membuat otoritas politik tetap menyala. Umpamanya perdagangan dibunuh, otoritas politik juga bisa kehabisan napas pelan-pelan.

*Esais (E-mail: bisma.ypolitik@gmail.com) 


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda