Beranda / Opini / Teokratisasi Politik Aceh

Teokratisasi Politik Aceh

Rabu, 04 September 2024 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Zulfikar Mirza

Penulis: Zulfikar Mirza Peneliti Analisa Demokrasi Indonesia (ADI). 


DIALEKSIS.COM | Opini - Dalam sejarah peradaban Islam di Aceh, ulama dan umarah memiliki peran yang saling melengkapi dan sangat penting dalam menjaga keseimbangan dan kestabilan masyarakat. Ulama, sebagai cendekiawan agama, bertanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, memberikan bimbingan spiritual, dan menafsirkan hukum syariah. Mereka menjadi penjaga moralitas masyarakat dan berfungsi sebagai penasihat dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Di sisi lain, umarah yang meliputi para pemimpin politik dan penguasa, bertanggung jawab atas administrasi negara, penegakan hukum, dan keamanan. Mereka mengelola urusan duniawi, termasuk pengambilan kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Umarah memiliki otoritas politik yang memungkinkan mereka menjalankan kekuasaan untuk mengatur dan mengelola pemerintahan.

Kedua peran ini penting untuk memastikan bahwa tatanan pemerintahan berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ulama memberikan panduan etis dan religius kepada umarah, sementara umarah melaksanakan kebijakan yang mendukung pelaksanaan ajaran Islam dalam masyarakat. Dalam konteks ini, ulama berperan sebagai pengawas moral dan penasehat, sedangkan umarah bertindak sebagai pelaksana kebijakan.

Argumen mengapa ulama dan umarah harus menjalankan fungsinya masing-masing adalah bahwa tanpa sinergi antara keduanya, tatanan pemerintahan dapat kehilangan keseimbangan. Jika umarah bertindak tanpa bimbingan ulama, kebijakan yang diambil mungkin menyimpang dari nilai-nilai Islam, yang dapat merusak moralitas dan keadilan dalam masyarakat. Sebaliknya, jika ulama tidak didukung oleh kekuasaan politik umarah, ajaran dan bimbingan mereka mungkin tidak dapat diimplementasikan secara efektif dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, penting bagi ulama dan umarah untuk bekerja sama dalam tatanan pemerintahan. Ulama memberikan panduan dan bimbingan berdasarkan pengetahuan agama, sementara umarah memastikan bahwa bimbingan tersebut diterapkan dalam kebijakan dan tindakan pemerintahan, sehingga tercipta masyarakat yang adil, sejahtera, dan berlandaskan pada ajaran Islam. Seorang ulama tetap menjadi ulama dan seorang umarah tetap menjadi umarah.

Apa yang akan terjadi ketika ulama terjun menjadi umarah atau pemimpin politik.? sejumlah efek buruk yang berpotensi merusak tatanan masyarakat dan pemerintahan pada suatu negara atau wilayah akan terjadi yaitu :

1. Konflik Kepentingan antara Agama dan Politik:

   Ketika ulama mengambil peran sebagai umarah, mereka mungkin menghadapi situasi di mana keputusan politik bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Hal ini bisa menyebabkan dilema moral, di mana ulama mungkin terpaksa mengkompromikan nilai-nilai agama demi kepentingan politik. Seorang ulama yang menjadi kepala negara mungkin dipaksa untuk mengambil keputusan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam, seperti melegalkan tindakan tertentu untuk kepentingan ekonomi atau politik, yang pada akhirnya dapat menodai integritas agama dan kepercayaan masyarakat terhadap ulama tersebut.

2. Penggunaan Agama untuk Legitimasi Kekuasaan:

   Ulama yang menjadi umarah dapat menggunakan agama sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan mereka, yang dapat menyebabkan manipulasi ajaran agama untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini bisa mengarah pada politisasi agama dan mengurangi kepercayaan publik terhadap agama itu sendiri. Seorang ulama yang menjadi penguasa mungkin menggunakan fatwa atau ajaran agama untuk membenarkan kebijakan yang kontroversial, seperti menghapus oposisi politik atau membatasi kebebasan berpendapat, dengan dalih mempertahankan stabilitas agama dan negara.

3. Kehilangan Independensi Ulama:

   Ketika ulama terjun ke dalam politik, mereka mungkin kehilangan independensi yang seharusnya dimiliki untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ketergantungan pada kekuasaan politik dapat membatasi peran mereka sebagai pengawas moral dan etika dalam masyarakat. Seorang ulama yang menjadi pejabat pemerintah mungkin enggan mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak adil karena takut kehilangan posisinya atau dukungan politik. Hal ini dapat menyebabkan ulama tersebut menjadi tidak efektif dalam memberikan bimbingan moral kepada masyarakat.

4. Polarisasi dan Perpecahan Sosial:

   Keterlibatan ulama dalam politik dapat menyebabkan polarisasi dalam masyarakat, di mana kelompok-kelompok yang berbeda mungkin mulai melihat ulama sebagai partisan, bukan sebagai penjaga agama yang netral. Ini bisa memicu perpecahan sosial yang mendalam. Dalam sebuah negara, seorang ulama yang menjadi pemimpin politik mungkin dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai pendukung satu kelompok tertentu, sementara kelompok lain merasa terpinggirkan. Hal ini dapat memperburuk ketegangan sosial dan memecah belah komunitas berdasarkan afiliasi politik.

Ketika Ulama mulai terjun ke dalam politik dapat mengaburkan peran ulama sebagai penjaga moralitas dan keagamaan, serta menciptakan risiko manipulasi agama untuk tujuan politik. Oleh karena itu, penting bagi ulama untuk tetap mempertahankan independensinya dan menjalankan peran mereka di luar arena politik, sementara umarah menjalankan fungsi pemerintahan dengan tetap menerima bimbingan dari ulama dalam konteks agama.

Apa yang terjadi saat ini di Aceh merupakan sebuah Teokratisasi Politik dimana Istilah ini merujuk pada proses di mana prinsip-prinsip dan otoritas keagamaan diintegrasikan atau dicampuradukkan dengan kekuasaan politik dimana seorang ulama karismatik memilih untuk menjadi wakil pada salah satu pasangan Pilkada. Pilihan ini akan memiliki dampak kerusakan sosial yang sistematis dalam tatanan masyarakat aceh yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi ulama. 

Seperti kita ketahui bahwa panggung politik merupakan sebuah panggung yang kotor penuh intrik dan sandiwara, panggung yang hanya diisi oleh janji janji kosong dan dusta, namun seorang ulama memilih untuk terjun dalam dunia politik sama dengan menjerumuskan dirinya dalam kotoran. Seorang ulama yang sangat di hormati tentu nantinya akan mendapatkan hujatan dan kritikan dari kelompok yang bersebrangan yang ini akan membuat wibawa seorang ulama akan hilang dimata masyarakat aceh, jika ini terjadi mata benteng terkuat masyarakat aceh (ulama) akan hancur dan terdistorsi, belum lagi munculnya perselisihan antar selama ulama yang pro dan kontrak terhadap salah satu calon pilihan Gubernurnya.

Hal keliru yang telah dilakukan oleh salah seorang ulama di aceh yang memilih terjun dalam dunia politik di aceh bukan hanya merusak citranya dimasyarakat tapi dia secara tidak sengaja merusak citra ulama seluruhnya secara sistimatis, hal ini terjadi saat para pendukung yang beroposisi dengannya membangun opini busuk tentang seorang ulama yang bersih akan terkena getahnya, apalagi jika ulama tersebut berpasangan dengan seorang mantan pejabat yang sudah memiliki trak record yang buruk baik dalam pemerintahan ataupun masyarakat.

Semoga beliau sadar akan kerusakan sistimatis yang akan terjadi terhadap kelompok ulama di aceh dengan masuknya beliau kedalam kelompok umarah, ulama tetap harus menjadi ulama dan umarah tetap harus menjadikan umarah, ketika umarah dan ulama bergabung dalam mengelola pemerintahan maka ditakutkan akan terjadi persekongkolan busuk diantara meraka.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda