Sejarah Prostitusi di Aceh Masa Belanda
Font: Ukuran: - +
Penulis : Bisma Yadhi Putra
Ilustrasi prostitusi. (SHUTTERSTOCK/Motortion Films)
Kritik Julius Jacobs
Karena di Aceh ada prostitusi dan melibatkan segelintir perempuan bersuami, orang-orang Belanda yang merasa bangsanya paling bermoral kerap melontarkan cemoohan. Orang-orang Belanda itu mengeklaim bahwa perempuan-perempuan Aceh, termasuk yang sudah bersuami, mudah diajak berhubungan seks dengan imbalan uang.
Julius Jacobs mengkritik anggapan itu. Berdasarkan penelitiannya, perempuan bersuami menjadi pekerja seks komersial adalah kasus yang jarang terjadi di Aceh. Ia tak setuju dengan anggapan bahwa masyarakat Aceh tak punya moral seperti masyarakat Belanda. Alasannya, perzinaan dan prostitusi juga ada di tengah-tengah masyarakat Belanda dan lebih marak.
Julius Jacobs mengkritik: “Di masyarakat Barat kita terdapat jauh lebih banyak ketidaksenonohan yang sinis di semua lapisan masyarakat dibandingkan di sini (Aceh). Selain itu, di sini lebih banyak tindakan yang diambil untuk mengatasi pelacuran. Perzinaan dan pelecehan terhadap gadis memang ada di Aceh, tetapi tidak sebesar itu dan lebih keras dihukum dibandingkan di masyarakat kita yang begitu diagung-agungkan sebagai beradab”.
Salah satu bentuk hukuman yang diketahui Julius Jacobs adalah pezina di Aceh akan dimasukkan ke dalam tong yang di sekelilingnya sudah ditancapi paku. Tong itu kemudian digelindingkan sehingga orang di dalamnya tertusuk-tusuk paku sampai mati.
“Dengan adanya langkah-langkah tegas terhadap perzinahan seperti ini, jarang sekali terjadi seorang pria Aceh berani menggoda istri orang lain, dan perempuan Aceh yang sudah menikah hampir tidak pernah tergoda untuk petualangan cinta terlarang,” kata Julius Jacobs.
Dengan maksud menyindir orang-orang Belanda yang suka merendahkan masyarakat Aceh, ia pun mengatakan: “Tidak ada gadis atau perempuan Aceh yang akan membuka dadanya di hadapan pria, kecuali pria itu adalah suaminya sendiri”.
Sindiran itu disertai dengan penjelasan bahwa kebanyakan perempuan maupun laki-laki Aceh punya “standar moral seksual” yang tinggi. Hal itu tercermin dari kesopanan yang mereka jaga secara ketat. Berbeda dengan umumnya laki-laki Belanda, laki-laki Aceh tak akan berjalan dengan seorang perempuan kecuali perempuan itu adalah istri atau ibunya sendiri. Bahkan seorang suami tak akan bermesra-mesraan dengan istrinya di kampung sendiri, misalnya dengan jalan-jalan berdua di tempat umum. Hanya ketika istrinya bepergian ke kampung lainlah sang suami akan menemaninya.
Perilaku itu dengan jelas menunjukkan bagaimana “kesucian, kehormatan, dan nama baik perempuan Aceh lebih terlindungi dibandingkan di tempat lain”. Jacobs memuji hal ini seraya memperingatkan para orang Belanda: “Sekali lagi, ketika menilai suatu bangsa, jangan lupa untuk bercermin pada diri sendiri dan melihat bagaimana hal-hal yang kita kecam di bangsa itu juga mungkin terjadi di lingkungan kita sendiri”.
Penulis: Bisma Yadhi Putra, kolektor arsip dan peneliti sejarah