Sabtu, 19 Juli 2025
Beranda / Opini / Sang Patriot yang Diuji: Nasionalisme Prabowo dalam Negosiasi dengan Trump

Sang Patriot yang Diuji: Nasionalisme Prabowo dalam Negosiasi dengan Trump

Jum`at, 18 Juli 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza
Firdaus Mirza, akademisi FISIP USK. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Opini - Presiden Prabowo Subianto baru saja mengakui bahwa mantan Presiden AS Donald Trump adalah seorang negosiator yang keras (baca Kompas, 16/7/2025). Pengakuan ini muncul setelah perundingan alot antara Indonesia dan AS, sehingga muncul pertanyaan sejauh mana nasionalisme seorang pemimpin diuji ketika berhadapan dengan tekanan kekuatan global?

Nasionalisme dalam Cengkeraman Realpolitic

Nasionalisme bukan sekadar retorika, melainkan praktik yang teruji di meja diplomasi. Prabowo, yang selama ini membangun citra sebagai sosok patriotik, kini berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan kerja sama dengan AS, salah satu kekuatan ekonomi dan militer terbesar dunia. Di sisi lain, kepentingan nasional harus dijaga agar tidak tergerus oleh dominasi negara adidaya.

Pernyataan Prabowo yang mengakui kekerasan Trump dalam negosiasi bisa dibaca sebagai bentuk realpolitik pengakuan bahwa dalam hubungan internasional, kekuatan sering kali berbicara lebih lantang daripada prinsip. Namun, di sinilah ujian sesungguhnya bagi nasionalisme seorang pemimpin apakah ia mampu menahan tekanan tanpa mengorbankan kepentingan rakyatnya?

Patriotisme vs Pragmatisme: Dimana Batasnya?

Kajian sosiologi politik melihat bahwa nasionalisme sering menjadi komoditas simbolis yang dijual kepada publik, sementara di balik layar, keputusan diambil berdasarkan kalkulasi pragmatis. Prabowo, dengan latar belakang militer dan narasi perjuangannya untuk Indonesia, memiliki beban moral untuk membuktikan bahwa nasionalismenya bukan sekadar pencitraan.

Jika dalam negosiasi dengan Trump, Indonesia harus membuat konsesi besar, apakah ini mencerminkan kegagalan diplomasi atau justru kecerdikan strategis? Masyarakat Indonesia, yang selama ini dikibarkan oleh semangat NKRI harga mati, mungkin akan mempertanyakan sejauh mana harga diri bangsa dipertaruhkan dalam perundingan tersebut.

Publik sebagai Hakim atas Nasionalisme Elite

Di tingkat makro, kita melihat bahwa nasionalisme adalah kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat. Ketika pemimpin mengambil keputusan yang berisiko mengikis kedaulatan, publik berhak menilai apakah tindakan itu masih dalam koridor membela kepentingan nasional atau sudah terjebak dalam kepentingan pragmatis semata.

Prabowo, seperti halnya Soekarno di masa lalu, akan diuji bukan hanya oleh kekuatan asing, tetapi juga oleh memori kolektif bangsa yang menuntut konsistensi antara kata dan tindakan. Jika negosiasi dengan Trump berujung pada ketimpangan yang merugikan Indonesia, narasi patriotiknya bisa goyah. Sebaliknya, jika ia berhasil membawa hasil yang setara, legitimasinya sebagai pemimpin nasionalis akan semakin kuat.

Nasionalisme dalam Pusaran Globalisasi

Dalam era di mana kekuatan global semakin menekan negara berkembang, nasionalisme tidak bisa lagi sekadar diukur dari pidato berapi-api, tetapi dari kemampuan pemimpin untuk menjaga kedaulatan di tengah ketidakseimbangan kekuatan. Prabowo sedang diuji apakah ia sanggup menjadi patriot sejati yang berdiri tegak di antara raksasa-raksasa dunia, atau justru terjatuh dalam permainan realpolitik yang mengorbankan martabat bangsanya?

Nasionalisme bukanlah simbol statis, melainkan praktik dinamis yang terus-menerus dipertaruhkan. Dan sejarah akan mencatat bagaimana sang patriot menjalani ujian ini. [**]

Penulis: Firdaus Mirza (Akademisi FISIP USK}

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI