Sabtu, 13 Desember 2025
Beranda / Opini / Saat Bencana, Semua Pejabat Mendadak Lucu

Saat Bencana, Semua Pejabat Mendadak Lucu

Sabtu, 13 Desember 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Taufik Al Mubarak

Taufik Al Mubarak. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Opini - "Kalian boleh brengsek dan pukimak, tapi bercandanya jangan begini juga-lah njirr."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari jemari saya ke laman Facebook. Sebuah respons spontan, campuran antara rasa marah, muak, dan ketidakpercayaan yang mendalam, saat saya membaca sebuah berita di media online dengan judul yang menohok: "Warga Aceh Tamiang Sebut Tenda BNPB Baru Dipasang Jelang Kedatangan Presiden".

Rupanya, celotehan saya itu memantik api. Status tersebut mendadak heboh, dikomentari banyak netizen yang sepakat dengan kemarahan saya. Sebagian besar dari mereka mengutuk ulah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam hemat saya, apa yang dilakukan oleh instansi tersebut benar-benar di luar nalar dan tidak dapat diterima oleh akal sehat. Institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan melayani masyarakat, menyediakan kebutuhan mendesak bagi warga yang kehilangan tempat berteduh, justru terjebak dalam laku seremonial yang menjijikkan. Ulah dan tindakan pihak BNPB itu bukan sekadar kelalaian, melainkan sebuah aksi yang melukai hati para korban yang sudah kehilangan segalanya.

Namun, jika kita runut ke belakang, dagelan ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal bencana banjir Sumatra menerjang. Saya sempat mencatat pernyataan Kepala BNPB, Suharyanto, di Jakarta, yang sungguh tidak sepatutnya keluar dari mulut seseorang yang diberi kewenangan penuh untuk penanggulangan bencana. Dalam sebuah wawancara media, dengan entengnya ia berkata bahwa, "Bencana di Sumatera terlihat mencekam hanya di media sosial saja."

Bagi saya, pernyataan ini tidak hanya jahat dan kurang ajar, tetapi juga nir-empati.

Padahal, realitas di lapangan jauh dari sekadar "konten medsos". Dampak banjir tersebut sangat luar biasa parah: jembatan-jembatan putus membuat wilayah terisolir; ribuan warga kehilangan tempat tinggal; tower PLN roboh dan tumbang menyisakan kegelapan gulita; koneksi internet mati total membuat korban tak bisa mengabarkan kengerian yang mereka alami kepada sanak saudara.

Situasi ini seketika mengingatkan saya pada judul novel monumental Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Para korban seperti dipaksa membisu, tak bisa menyuarakan duka mereka ke dunia luar. Terputusnya komunikasi membuat mereka tidak bisa melukiskan sedahsyat apa bencana menghantam hidup mereka. Belakangan baru kita sadari, bahwa bencana yang terjadi pada akhir November itu jauh lebih dahsyat dari dugaan siapa pun.

Bayangkan, di tengah malam buta, masyarakat yang kehilangan rumah dan harta terlihat begitu terpukul, menjerit sejadi-jadinya, seakan-akan telah diselar, berlarian mencari tempat berlindung atau sekadar bertahan untuk tetap hidup. Dan di tengah jeritan itu, seorang pejabat tinggi di Jakarta menganggapnya hanya "mencekam di media sosial".

Saya jadi bertanya-tanya, entah ada dendam apa Suharyanto terhadap masyarakat Aceh dan masyarakat Sumatera lainnya? Memang, dulunya dia pernah menjadi serdadu yang bertugas di Aceh saat konflik masih berkecamuk. Bisa jadi ada dendam kesumat masa lalu yang tak sempat ia balaskan, dan barulah ketika menjabat sebagai Kepala BNPB, ia memanfaatkan momentum ini untuk melampiaskannya? Entahlah. Hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Yang jelas, bencana banjir Sumatera kali ini benar-benar membuat mata kita terbuka lebar, terutama saat menyaksikan tingkah polah para pejabat negeri ini. Di tengah tangisan rakyat, mereka semua mendadak menjadi lucu.

Lihat saja tingkah polah mereka. Ada pejabat yang datang ke lokasi bencana dengan memikul sekarung beras di pundaknya demi jepretan kamera, sementara para bawahannya berjalan santai di belakang tanpa membawa apa-apa. Ada anggota dewan yang terhormat datang meninjau lokasi bencana mengenakan rompi bermerek yang harganya jelas lebih mahal dari total bantuan yang ia bawa, lalu berfoto ria dengan pose menunjuk aliran air sungai--seolah air itu akan surut dengan telunjuknya.

Kelucuan tak berhenti di situ. Ada pula pejabat militer yang dengan sesumbar mengatakan pihaknya telah mengirim perangkat Starlink ke wilayah bencana agar masyarakat memiliki koneksi internet. Namun, dalam napas yang sama, ia mengeluh tidak tahu siapa nanti yang akan membayar tagihan pulsanya. Sebuah komedi tragis.

Belum lagi pejabat Kementerian Sosial. Seharusnya mereka menjadi pihak pertama yang sibuk mengurusi perut dan kebutuhan korban. Namun, alih-alih bergerak cepat, ia malah sibuk mempermasalahkan administrasi, meminta kegiatan penggalangan dana masyarakat harus berizin pemerintah. Senada dengan itu, ada juga anggota dewan yang nyinyir kepada influencer yang turun tangan melakukan penggalangan dana, padahal negara sedang alpa.

Di luar semua sirkus pejabat itu, banjir Sumatra kali ini benar-benar menelanjangi fakta bahwa pemerintah gagal dan gagap menghadapi bencana maha-dahsyat ini. Anehnya, di tengah ketidakmampuan itu, mereka masih memelihara gengsi setinggi langit untuk meminta bantuan asing. Alih-alih membuka pintu bagi bantuan internasional, pemerintah berkeras masih mampu menangani sendiri dampak bencana.

Hasilnya? Masalah sudah berlarut lebih dari dua pekan sejak bencana terjadi. Masih ada daerah yang terisolir, banyak korban belum tersentuh bantuan sebutir nasi pun, dan listrik masih padam di banyak titik--sekalipun ada menteri terkait yang tega 'ngeprank' Presiden dengan laporan palsu bahwa listrik sudah pulih 93 persen.

Namun, bagian paling menyedihkan dari cerita ini bukanlah kebodohan pejabat, melainkan nasib rakyatnya. Yang bikin kita miris dan menangis adalah kenyataan bahwa banyak penyintas bencana banjir justru meninggal dunia karena lapar dan kelaparan pasca-bencana. Mereka bertarung nyawa melawan dahsyatnya air bah dan selamat, tapi nyawa yang mati-matian mereka pertahankan itu akhirnya tumbang juga, hanya karena pemerintah tak kunjung hadir membawa makanan.

Bayangkan, negara sebesar ini, dengan segala klaim kemajuannya, ternyata gagal melindungi segenap tumpah darah anak negerinya sendiri. []

Taufik Al Mubarak, seorang penulis lepas dan blogger yang tak kunjung pensiun.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI