Relasi Islam dan Negara di Indonesia
Font: Ukuran: - +
Ketua Garda Bangsa Kota Banda Aceh, Jabal Ali Husin Sab. [Foto: For Dialeksis]
Oleh: Jabal Ali Husin Sab
Kritik Maulana Wahiduddin Khan kepada koleganya sesama ulama cum intelektual anak benua Hindia, Abul A'la Al Mawdudi bahwa politik bukanlah segalanya dalam Islam dan bukan satu-satunya cara untuk memperjuangkan Islam. Maulana Wahiduddin Khan mengibaratkan cara pandang Mawdudi yang deterministik terhadap Islam dan politik, mirip dengan pandangan Karl Marx bahwa permasalahan konflik dan penggerak sejarah bersumber dari satu sebab absolut yaitu masalah ekonomi (determinasi ekonomi).
Padahal politik dan elemen lainnya dari ajaran Islam bekerja secara bersamaan dan saling mempengaruhi dan bukan jadi satu-satunya faktor tunggal. Meski demikian, tegaknya agama tidak menafikan peran politik atau kekuasaan sama sekali.
Realitas Islam di Indonesia
Satu hal yang tidak kita sadari di negara muslim yang bukan negara Islam seperti Indonesia, negara telah benar-benar memastikan tegaknya bagian paling fundamental dari hukum syariah, yaitu: 1. Memastikan tegaknya shalat berjamaah secara berjamaah di mesjid-mesjid; 2. Memfasilitasi pembayaran zakat; 3. Mengontrol dan memastikan kehalalan pada peredaran makanan-minuman dan produk turunannya; 4. Menetapkan awal bulan puasa Ramadhan dan Idul Fitri untuk memastikan pelaksanaan ibadah puasa; 5. Memfasilitasi pernikahan yang sesuai dengan hukum syariat Islam, beserta dengan urusan cerai dan hak asuh anak; 6. hukum waris yang sesuai dengan syariat Islam; 7. Adanya Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama; 8. Adanya lembaga majelis ulama (MUI) yang secara institusional sebagai lembaga resmi negara yang mengatur urusan umat muslim di Indonesia; 9. Adanya pelajaran agama di dalam sistem dan institusi pendidikan umum di tingkat sekolah dan universitas di Indonesia; 10. Adanya institusi pendidikan Islam tingkat sekolah (MIN, MTsN, MAN) dan tingkat universitas (UIN, STAIN). Dan mungkin masih ada hal yang lain.
Negara juga hadir untuk memfasilitasi umat muslim untuk berserikat dalam organisasi Islam yang dalam kehidupan bernegara berfungsi sebagai interest group yang cukup mempengaruhi arah kebijakan negara. Kita ketahui organisasi berbasis Islam sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Organisasi semisal Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Perti, Sarekat Islam, dan yang lain telah hadir dan mengisi kemerdekaan dan diakui oleh pemerintah sebagai organisasi representasi umat Islam yang mendapat tempat yang layak di dalam negara. Bahkan tak jarang organisasi-organisasi besar tersebut menjadi mitra negara untuk mewujudkan visi kebangsaan yang sejalan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Tanpa menjadi negara Islam atau negara yang menerapkan syariah, NKRI pun sejak awal kemerdekaan hingga sekarang telah menegakkan sebagian dari syariat dan hukum Islam, dimana relasi Negara-Islam-Muslim adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan di republik kita tercinta.
Memisahkan antara agama dan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sebenarnya sudah menyalahi bagaimana negara ini berdiri dan berlangsung selama sekian lama.
Upaya untuk menegakkan Islam dengan semangat keislaman, bukanlah suatu yang lantas layak dicurigai dan berlawanan dengan arah negara. Bahkan, pertalian hubungan erat antara Islam dan negara yang seimbang dan berimbang adalah warisan dari pendahulu para bapak pejuang bangsa untuk terus kita lestarikan di masa depan agar terus terjaga dari dua titik ekstrim kiri yang anti agama, sekularisme dan liberalisme yang mengarah pada penafian sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan ekstrim kanan yang benar-benar antipati terhadap Pancasila dan prinsip-prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Pendidikan Kebangsaan bagi Pemuda
Atas sebab fakta relasi antara agama dan negara yang telah dijabarkan di atas, maka penting bagi kita untuk mengevaluasi dan melakukan reorientasi atas pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang selama ini telah diajarkan di bangku sekolah dalam ruang akademis maupun dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Pendidikan bernegara dan pengenalan wawasan kebangsaan menjadi media untuk menumbuhkan semangat cinta tanah air di kalangan pemuda-pemuda Indonesia. Khususnya untuk meredam radikalisme yang berawal dari kesalahpahaman dan minimnya pengetahuan dan wawasan tentang agama di satu sisi dan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara di sisi lain.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan perlu diperkenalkan kembali kepada pemuda dengan cara yang tepat agar kita dapat meredam pemahaman-pemahaman yang senantiasa mencoba membenturkan antara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan ekspresi keberagamaan kita. Tentu hal ini membutuhkan proses dengan kembali membuka ruang dialog antara negara, tokoh-tokoh agama dan segenap elemen-elemen bangsa untuk menyepakati kembali apa-apa yang telah disepakati oleh bapak pendiri bangsa Indonesia yang berhasil mendudukkan perkara berbangsa dan bernegara dan agama dalam relasi yang harmoni dan proporsional.
Tentunya kehidupan berbangsa dan bernegara tidak berjalan statis. Kita hidup dalam negara demokrasi yang setiap warga berhak untuk menyampaikan pandangan politiknya. Maka ruang dialog harus dibuka selebar-lebarnya sesuai dengan prinsip musyawarah dan mufakat untuk meredefinisi makna berbangsa dan bernegara di zaman ini yang tak terlepas dari pijakan dasar negara yakni Pancasila dan UUD 1945.
*Penulis adalah Ketua Garda Bangsa Kota Banda Aceh.