Refleksi Menuju Pilkada Serentak 2024
Font: Ukuran: - +
Penulis : Syahrul Ramadhan
Syahrul Ramadhan, mahasiswa Magister Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. [Foto: for Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Dalam hitungan hari, tepatnya tanggal 27 November 2024 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota akan segera dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah di Indonesia.
Sebagai rakyat yang dituntut untuk taat membayar pajak, kita juga mengharapkan pesta demokrasi kali ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang berintegritas dan bermutu tinggi, agar arah kebijakan yang dihasilkan nantinya dapat menunjang kehidupan bermasyarakat, baik itu dari segi sosial politik maupun ekonomi, serta melahirkan pemimpin yang tidak koruptif.
Harus diakui, cita-cita tersebut masih menjadi pekerjaan rumah dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagaimana harapan kehidupan yang lebih demokratis pasca reformasi ternyata justru telah membentuk kekuatan-kekuatan baru, serta keterbukaan akses terhadap sumber daya material maupun politik, sehingga membentuk pola-pola persaingan politik yang koruptif dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Salah-satu praktik korupsi demokrasi yang sering kita jumpai adalah politik uang (money politics). Merujuk pada Aspinal (2014), dalam masyarakat Indonesia istilah politik uang secara umum dipahami sebagai pembelian suara dan fenomena yang terkait. Pola umumnya adalah elit-elit politik bersama koleganya memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat yang di bawah kata sejahtera untuk membeli suara mereka.
Pola-pola seperti ini sangat familiar bagi masyarakat Indonesia, bahkan sudah menjadi rahasia umum, kita sendiri sering mendengar istilah “serangan fajar,” dan tampaknya praktik ini sudah dinormalisasi oleh sebagian besar masyarakat.
Sebagai imbasnya, biaya politik menjadi mahal (high cost politics). Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil survei dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2018), menyebutkan total nominal yang harus disiapkan untuk menjadi calon kepala daerah di tingkat kabupaten/kota adalah sekitar 60 miliar, sedangkan untuk tingkat provinsi mencapai 100 miliar, bahkan angkanya bisa jauh lebih besar, tergantung potensi yang dimiliki tiap daerah.
Dengan harga yang fantastis tersebut, calon-calon kepala daerah wajib memiliki modal kapital yang besar pula, baik itu berasal dari modal pribadi, atau dengan menggandeng investor dari elit kapital untuk membantu memberi modal. Konsekuensi dari pola seperti ini adalah terciptanya lingkaran oligarki di dalam badan pemerintahan kita.
Sebagaimana disampaikan Reuter (2015), dengan memberi penekanan terhadap oligarki di Indonesia dalam hal kepemilikan materi ekonomi, dan menyatakan bahwa oligarki di Indonesia merupakan upaya penggabungan kekuatan ekonomi oleh individu atau sekelompok elit yang terlibat dalam sistem politik.
Sebagai konsekuensi, banyak kita jumpai kebijakan-kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, melainkan berorientasi pada hasrat memperkaya diri dan kelompok. Hasilnya berupa pemusatan kekuasaan pada sumber daya politik dan ekonomi, elit kapital yang sudah menggelontorkan dana besar tentu mengharapkan hubungan timbal balik dari elit politik, yaitu melalui kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Dengan dampak yang lebih serius dengan terciptanya kelas sosial serta kemiskinan struktural yang semakin kentara.
Sebagai renungan, kita bisa melihat bagaimana revisi undang-undang cipta kerja dalam omnibus law yang sangat merugikan buruh, ini baru salah-satu dampak dari lingkaran oligarki dalam pemerintahan kita. Sehingga untuk mencapai cita-cita kehidupan yang sejahtera di bawah pemimpin yang kita pilih terlihat seperti angan-angan yang utopis.
Lebih lanjut, Indrayana (2017) mendefinisikan politik uang secara lebih luas, dengan mencakup kegiatan koruptif lainnya seperti pencalonan kandidat, pencucian uang, penyalahgunaan donasi, penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana, dan korupsi administratif pemilu. Dalam konteks ini, salah satu praktiknya yaitu adanya mahar politik yang dianggap sebagai ongkos perahu oleh partai politik dengan alasan sebagai dana pembiayaan menjalankan roda kendaraan partai.
Selain membentuk legitimasi pada oligarki, serangkaian praktik koruptif dalam sistem demokrasi di Indonesia juga berimplikasi terhadap kualitas pemimpin yang berkontestasi dalam pilkada. Sebagai gambaran, dengan adanya mahar politik, partai politik ketika mengusung calon tidak lagi merujuk pada kualitas kader, melainkan berapa nominal yang mampu dia berikan kepada partai, tentu ini sangat mencederai demokrasi.
Maka tidak heran, serangkaian dinamika yang terjadi selama masa kampanye maupun debat calon kepala daerah yang di selenggarakan di saluran televisi nasional maupun media digital lainya, kita menjumpai banyak gagasan-gagasan atau janji-janji yang jauh dari substansi, bahkan podium debat calon kepala daerah lebih cocok disebut panggung parodi komedi.
Sebagai contoh, ada seorang calon wakil kepala daerah salah-satu Kabupaten di Yogyakarta, dalam sebuah forum yang diselenggarakan di Fispol UGM, ketika menjelaskan visi terkait investasi hanya memaparkan definisi investasi, bayangkan ini terjadi dalam forum yang dihadiri akademisi.
Di media sosial kita juga melihat sosok calon bupati yang “menjanjikan surga”, atau gagasan mengubah padi menjadi beras, bahkan yang lebih miris mengajak “meningkatkan kemiskinan,” atau gagasan-gagasan di luar nalar lainnya. Terlepas apakah mungkin terdapat kesalahan dalam pemilihan kata untuk memyampaikan maksud gagasan atau janji politiknya, kesalahan-kesalahan seperti itu sulit untuk ditoleransi bagi sosok calon pemimpin.
Memang harus diakui pola ini tidak secara langsung berperan dalam menentukan kualitas calon pemimpin, namun lebih jeli lagi, kita akan menemukan pola seperti ini mampu “memotong kaki” lawan politik dari pihak-pihak yang memiliki modal kapital, kendati ada calon lain yang secara pengalaman dan latar belakang pendidikan lebih layak menjadi pemimpin. Persaingan tidak sehat ini sayangnya menjamur di tubuh partai, padahal sebagaimana diketahui keberadaan partai politik adalah representasi dari sistem politik yang demokratis.
Sebagai refleksi menuju pilkada 2024, demokratisasi di Indonesia sebenarnya telah memungkinkan keterbukaan partisipasi bagi masyarakat secara luas, sehingga penulis mengajak seluruh pembaca untuk lebih peka dan tidak skeptis dengan isu-isu politik terkini. Dengan begitu, masyarakat menjadi garda terdapan dalam mengawal demokrasi di Indonesia, termasuk dengan tidak lagi menormalisasi praktik politik uang.
Penulis melihat, terdapat kekeliruan yang umum ditemui dan terus direproduksi dalam masyarakat kita, yaitu menganggap politik uang sebagai pilihan yang rasional bagi seorang pemilih, alasannya daripada tidak memperoleh apapun setidaknya masyarakat mendapatkan harga untuk suara mereka. Selain itu, penulis sendiri sering mendengar ungkapan di meja warung kopi “untuk apa membicarakan politik, yang kaya semakin kaya, yang dibawah begini-begini saja.”
Tentu saja perilaku skeptis seperti ini merupakan “falasi” yang justru semakin memberi legitimasi pada praktik koruptif dalam demokrasi, kondisi ekonomi masyarakat secara signifikan menjadi tunggangan para elit disetiap pesta demokrasi. Di sisi lain, mereka cukup “menina bobok” rakyat dengan perilaku atau kebijakan-kebijakan populis. Untuk itu penulis mengharapkan partisipasi dari masyarakat untuk bersatu mengawal demokrasi dalam pilkada mendatang, demi kehidupan yang lebih layak, dan generasi penerus yang berintegritas. [**]
Penulis: Syahrul Ramadhan (mahasiswa Magister Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)