Realistis Merespon Debat Calon Presiden Perdana
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Opini - Pada tanggal 13 Desember lalu kita disuguhkan oleh debat Calon Presiden yang pertama. Debat ini merupakan satu dari serangkaian debat yang akan dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tema yang diangkat adalah Hukum, Ham, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi dan Penguatan Demokrasi.
Debat Capres ini mendapat sorotan yang cukup besar mengingat konteks perpolitikan Indonesia hari ini. Secara substansial, tema debat kali pertama ini melingkupi berbagai isu yang per hari ini menjadi sorotan masyarakat. Dalam sub tema hukum dan pemberantasan korupsi misalnya, masyarakat sedang dirisaukan dengan kasus korupsi ketua KPK dan juga putusan MK yang kontroversial mengenai syarat pencalonan presiden dan calon presiden.
Sementara itu, bicara penguatan demokrasi masyarakat juga dirisaukan dengan kebebasan berbicara yang dipandang menurun selama pemerintahan Presiden Jokowi. Adapun secara elektoral, debat ini dilaksanakan di tengah masih besarnya kegamangan masyarakat dalam menentukan pilihan capres dan cawapresnya. Tercatat menurut hasil survey Litbang Kompas ada 28,7 persen masyarakat yang masih belum menentukan pilihannya.
Besarnya animo masyarakat terhadap debat capres lalu setidaknya dapat dilihat dalam keriuhan di media sosial. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Drone Emprit, percakapan yang membahas calon presiden pada tanggal 13 Desember meningkat pesat. Setidaknya ada total 217.200 percakapan yang menyebut calon presiden. Dengan rincian 93 ribu percakapan menyebut Anies Baswedan, 83.800 menyebut Prabowo Subianto dan 40.400 percakapan menyebut Ganjar Pranowo. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan volume percakapan yang normal muncul di media sosial. Tentu angka ini tidak lantas bisa diklaim sebagai satu-satunya indikator atas arti penting debat tersebut. Akan tetapi, cukuplah dikatakan bahwa debat ini memberikan stimulasi terhadap percakapan mengenai pilihan capres dan cawapres masyarakat pada tahun 2024 nanti.
Dengan data dan konteks yang demikian, bagaimana seharusnya kita menanggapi debat capres tersebut?
Secara substansial kita perlu menyadari bahwa debat ini tidak mampu untuk menggambarkan secara utuh mengenai tema yang diperdebatkan. Debat ini hanya mampu membahas permukaan ide dari para calon yang berdebat. Sebagai contoh, dalam perdebatan mengenai isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Prabowo mengungkapkan pentingnya pendekatan keamanan dalam menangani isu HAM di Papua. Sementara itu Anies berupaya untuk menghadirkan keadilan di tanah Papua. Adapun Ganjar akan melakukan dialog dengan masyarakat Papua.
Dari berbagai pernyataan ini masih banyak sekali pertanyaan yang dapat muncul untuk menjadi bahan evaluasi kita bersama. Dalam pernyataan pertama, jika pendekatan keamanan yang menjadi kuncinya, sejauh ini hal tersebut telah dilaksanakan dan tidak efektif, apakah mengulang pola tersebut dapat menyelesaikan masalah? Dalam pernyataan kedua, pendekatan dialog menjadi yang utama, bagaimana ia dilaksanakan di tengah kondisi aktor politik yang berkepentingan sama-sama menaruh rasa tidak percaya yang besar? Dalam pernyataan ketiga, keadilan macam apa yang akan digagas dan bagaimana ia diimplementasikan dalam kebijakan?
Contoh di atas penulis berikan untuk menekankan bahwa lagi-lagi debat yang kita saksikan tempo hari tidak dapat menjadi gambaran utuh dari visi calon pemimpin kita. Hanya dari satu topik saja, ada banyak sekali pertanyaan yang bisa kita ajukan. Hal yang sama tentu juga berlaku dalam berbagai topik lain yang menjadi perdebatan. Sehingga tidaklah cukup bagi kita untuk menilai calon pemimpin kita dari debat kemarin saja. Perlu ada upaya untuk melakukan verivikasi silang antara pernyataan yang dilontarkan dalam debat dengan sikap dan pernyataan yang ditunjukkan sebelum dan sesudah debat. Hanya dengan upaya tersebut kita dapat memahami jalan pikiran para calon pemimpin ini dengan utuh.
Adapun secara elektoral kita juga belum dapat berharap banyak bahwa hasil debat akan mempengaruhi pilihan dari masyarakat. Mengingat bahwa secara historis debat dari capres dan cawapres di Indonesia tidak memiliki dampak yang sangat signifikan. Saiful Mujani misalnya, mengatakan bahwa debat capres di Indonesia cenderung dijadikan sebagai ajang validasi bagi pemilih salah satu paslon untuk meneguhkan pilihannya. Berbeda dengan di Amerika Serikat dimana performa calon dalam debat sangat menentukan pilihan dari pemilih. Hal ini juga terkonfirmasi oleh hasil survey litbang kompas pada tanggal 12 Desember 2023. Dalam survey ini ditunjukkan bahwa 73,9 persen masyarakat di Indonesia tetap bersikukuh pada pilihan terlepas dari performa calon dukungannya dalam debat capres tempo hari.
Maka daripada itu dalam pandangan penulis merespon debat ini haruslah realistis. Debat tidak dipandang secara simplistis sebagai pertarungan untuk menunjukkan keunggulan gagasan kandidat dalam acara tersebut. Pasalnya menilai seorang kandidat dari performanya ketika debat tidaklah cukup. Keterbatasan waktu dan berbagai aspek teknis dalam acara tersebut tidak mengizinkan hal itu. Di saat yang bersamaan, debat juga belum dapat menjadi faktor signifikan dari penentu elektabilitas calon tersebut.
Sehingga, penulis mengajukan bahwa cukuplah kita melihat debat sebagai sarana untuk memantik percakapan di ruang publik. Di dalam percakapan itulah kemudian gagasan calon yang tidak terelaborasi dengan baik dapat digali kembali. Dalam percakapan itu pula nantinya pilihan dari masyarakat diuji kembali. Akankah tetap memilih calon yang sama atau berpindah haluan kepada calon lainnya.
Kita juga tidak boleh alergi dengan percakapan tersebut. Karena kita sedang hidup di alam demokrasi dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam implementasinya di Indonesia. Menerima demokrasi sebagai sistem politik berarti menerima konsekuensi logis yang hadir bersamaan dengannya. Demokrasi adalah sistem yang berisik, karena ia mengisyaratkan pentingnya partisipasi dari setiap warga negara. Demokrasi juga merupakan sistem yang penuh dengan pertentangan, karena ia merupakan arena dimana berbagai kepentingan dipertarungkan. Di atas semua itu, demokrasi adalah sistem yang di dalamnya harus terdapat percakapan, karena partisipasi dan pertarungan kepentingan dinavigasi oleh percakapan. Baik di tataran elit maupun akar rumput.
Penulis merupakan mahasiswa magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran