DIALEKSIS.COM | Opini - Permendagri No. 1/2023 yang memindahkanempat pulau milik Aceh -- Pulau Berhala, Pulau Mangkir, Pulau Batumakmur, dan Pulau Peunasu -- ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara (Sumut). Kebijakan ini bukan hanya bermasalah secara hukum, tetapi juga mengabaikan otonomi khusus Aceh dan berpotensi memicu konflik sosial.
Kebijakan yang Tidak Aspiratif
Aceh, sebagai daerah istimewa, memiliki hak mengatur wilayahnya sendiri berdasarkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, perubahan batas ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan Pemerintah Aceh atau DPR RI. Ini jelas inkonstitusional, karena perubahan batas daerah seharusnya melalui proses musyawarah, bukan sekadar keputusan birokrasi di Jakarta.
Pertanyaannya: Ada apa di balik kebijakan ini?
Apakah ada kepentingan investasi, eksploitasi sumber daya alam, atau proyek strategis yang ingin lebih mudah dikontrol pusat? Jika iya, ini adalah bentuk peminggiran kembali terhadap Aceh setelah bertahun-tahun berjuang mendapatkan hak otonominya.
Resistensi Aceh: Perlawanan terhadap Dominasi Pusat
Pemerintah Aceh telah menyatakan penolakan keras dan mengancam akan membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sikap ini patut diapresiasi, karena jika dibiarkan, kebijakan serupa bisa terus terjadi -- menggerus kedaulatan Aceh sedikit demi sedikit.
Di tingkat akar rumput, organisasi masyarakat sipil (CSO) dan aktivis juga mulai bergerak. Mereka melihat ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi penghilangan identitas dan hak rakyat Aceh. Nelayan di pesisir timur Aceh, misalnya, bisa kehilangan akses ke pulau-pulau yang telah menjadi tempat mencari nafkah turun-temurun.
Dampak Sosial Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Jika kebijakan ini tidak dicabut, beberapa konsekuensi serius bisa terjadi:
1. Konflik Horizontal: Masyarakat Aceh dan Sumut bisa berseteru memperebutkan hak kelola pulau.
2. Ancaman Ekonomi Nelayan: Jika pulau diklaim Sumut, nelayan Aceh bisa diusir atau dikenakan aturan baru yang memberatkan.
3. Eksploitasi SDA Tanpa Manfaat untuk Aceh: Jika ada tambang atau proyek migas, keuntungannya akan mengalir ke Jakarta dan Sumut, sementara Aceh hanya mendapat dampak kerusakan lingkungan.
Aceh Harus Bersatu Menolak!
Ini bukan hanya urusan pemerintah, tapi hak seluruh rakyat Aceh. Kita tidak boleh diam melihat wilayah kita diambil tanpa alasan jelas. Seruan untuk tindakan:
1. Pemerintah Aceh harus konsisten menuntut revisi Permendagri ini, bahkan jika perlu melalui jalur hukum.
2. DPRA harus bersikap tegas, menggelar dengar pendapat dengan ahli hukum dan masyarakat terdampak.
3. CSO, akademisi, dan media harus terus menyuarakan isu ini agar tidak tenggelam oleh waktu.
Aceh bukan daerah taklukan yang bisa diatur seenaknya. Otonomi khusus harus dihormati, bukan diabaikan! [**]
Penulis: Firdaus Mirza [Dosen Sosiologi USK]